"Kita mau kemana?" tanya Wendy bersamaan dengan Jean yang memasangkan helm untuknya.
"Nggak tau." Jean menangkat bahunya. "Gue juga nggak ada tujuan tertentu," lanjutnya.
"Terus ini, cikinya mau lo kemanain, Jean?" tanya Wendy dengan sangat serius sambil menunjuk plastik besar yang berisi ciki.
"Lo tenang aja, masalah ciki ini, gampang." Jean naik ke atas motor sambil meletakkan sekantong plastik ciki yang sudah terbungkus rapi di depannya. "Ayo."
Walaupun sedikit ragu, Wendy tetap duduk di boncengan Jean. Tak mau terlalu lama, Jean langsung memutar gas dan langsung meninggalkan pekarangan rumahnya walaupun ia belum tahu akan kemana.
"Mama! Wendy pergi sama Jean!" teriak Wendy saat melihat mama dan Tante Tania sedang berjalan dari kejauhan. "Tante, aku pergi sama Jean," lanjutnya saat Jean berhenti mendadak di hadapan dua perempuan paruh baya itu.
"Ngeremnya nggak bisa lebih soft lagi?" protes Wendy setelah helm mereka berbunyi cukup keras setelah beradu.
"Nggak," jawab Jean tanpa dosa.
"Lo kenapa nyebelin sih, Jean," ucap Wendy sambil memukul-mukul punggu Jean hingga membuatnya meringis.
Mama Wendy segera menengahi pertengkaran dua remaja itu karena tidak enak dengan Bunda Jean yang menyaksikan anaknya disiksa oleh Wendy. "Mau kemana, Wendy?"
"Nggak tau, tanya Jean nih, Ma," ucap Wendy diiringi pukulan terakhirnya di punggung Jean.
"Ya udah, hati-hati bawa motornya, jangan ngebut," ucap Tante Tania yang langsung mendapat anggukan mantap dari Jean.
"Kita pergi dulu," pamit Jean kemudian langsung memutar pedal gas.
"Dada Mama!" Wendy melambaikan tangan. "Dada Tante!" lanjut Wendy.
Sebenarnya, agak aneh melihat Wendy dan Jean menjadi sedekat ini, walaupun mereka masih sering berdebat. Tapi, Mama Wendy dan Bunda Jean malas mengomentari. Takutnya, saat keakurannya disinggung, mereka tersadar dan kembali bertengkar dan membuat ribut satu komplek. Jadi, Mama Wensy dan Bunda Jean kompak memberi Wendy dan Jean ruang tanpa banyak bertanya.
Bukan juga orang tua mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Di usia sekarang ini, wajar jika Wendy dan Jean terlibat perasaan spesial satu sama lain. Walaupun dua orang itu sering bertengkar, tidak menutup kemungkinan mereka untuk jatuh cinta. Kadang, cinta bisa datang hanya karena bersitatap dalam beberapa detik.
"Wendy."
"Hm?"
Mudah saja bagi Wendy untuk mendengar suara Jean. Selain karena mereka masih di jalanan komplek yang tidak begitu ramai, Jean memgendarai motornya dengan sangat pelan.
"Lo ingat nggak, kenapa kita bisa musuhan?"
"Ingatlah," jawab Wendy dengan sangat yakin. "Karena lo bahas itu, gue malah jadi kesel lagi."
Jean tertawa kecil saat Wendy lagi-lagi memukul punggungnya, kali ini hanya pukulan pelan. "Padahal sebelum itu kita sering main bareng."
"Lo sih, ngeselin," gerutu Wendy. "Bukannya menghibur gue yang nggak dibolehin main hujan sama mama, malah ngejek."
Jean tersenyum. Ternyata Wendy memang mengingatnya. Saat itu, Jean yang berlari kian-kemari di bawah hujan memang mengejek Wendy yang dikurung di dalam rumah. Mamanya tidak mengizinkan Wendy hujan-hujanan karena Wendy akan langsung sakit jika terkena huja.
Kala itu, ketika melihat wajah muram Wendy yang menonton dari balik jendela, membuat Jean ingin menghiburnya. Tapi, Jean akui kalau caranya salah. Bukannya menghibur, Jean malah membuat Wendy kesal dan akhirnya pertemanan mereka hancur saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blush On
Teen FictionWendy pikir, blush on miliknya sekarang adaah yang paling cocok. Namun, ternyata ada blush on lain yang lebih cocok untuk pipinya. Tapi, ini bukan sekedar tentang blush on.