Part 22 ~•~ Mengambil kesempatan

31 7 0
                                    

"Kebetulan kita ketemu di sini, ada beberapa hal yang mau gue sampaikan," ujar Arthur seraya menarik pelan lengan Alea untuk duduk di kursi.

"Bunga buat nyokap lo itu bukan dari bokap gue, selama ini kita salah sangka," Alea tersentak kaget mendengarnya. Ia menatap Arthur meminta penjelasan lebih.

"Lo tinggalin dia ke sini, lo gak tahu kan keadaan nyokap lo sekarang gimana?"

"Dia terus mikirin lo Al," lanjut Arthur.

"Mama," lirih Alea, ia merasa sangat bersalah.

"Siapa yang jagain mama gue?" gumamnya sedih.

"Oliv jagain tante Risa, lo tenang aja yang penting komunikasi, karena dia butuh kabar lo,"

Alea memejamkan matanya yang terasa perih, beberapa hari ini terus mengeluarkan air matanya hingga saat ini. Arthur yang melihatnya pun bersimpati, ia menarik Alea ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan gadis itu.

"Mata lo kenapa sembab?"

Alea melepaskan pelukannya, lalu tersenyum lebar. Ia tak ingin ada yang mengetahui kondisinya di Berlin bahwa ia tidak baik-baik saja.

"Culture shock, fisik gue gak kuat sama cuaca di sini."

Jawaban Alea membuat Arthur mengerutkan keningnya.

"Hah? Belum winter season kan Al."

Alea menggaruk tengkuknya pelan.

"Ketauan bohong deh," gumam Alea dengan tersenyum canggung.

"It's ok kalau lo gak mau cerita."

°°°

Alea berani menginjakkan kakinya ke rumah ini pada saat malam hari karena papa sudah berada di rumah. Ia tidak tahan dengan ulah Beatrice, wanita perusak keluarganya.

Papa, Beatrice dan Leon berada di ruang tamu yang menghadap langsung ke arah pintu sehingga pada saat Alea membukanya mereka semua menatap Alea. Papa dengan tatapan khawatir, Beatrice dengan tatapan benci, dan Leon yang tidak berekspresi.

"Kamu kemana aja?" papa berdiri dan menghampiri Alea.

"Isi perut, soalnya di rumah ini gak dapet makan," ujar Alea sambil melirik Beatrice tajam.

Papa membalikkan badannya, kemudian menatap Beatrice, sedangkan wanita itu memalingkan wajahnya masa bodoh dengan melipat kedua tangannya.

"Nanti papa bicara sama dia," kata papa pada Alea.

Alea menuju kamarnya setelah pamit pada papa.

°°°

"Mama," panggil Alea lewat sambungan telepon.

"Alea," jawab mama terdengar antusias dan bahagia.

Mendengar itu Alea tidak dapat melanjutkan perkataannya lagi. Ia ingin menghentikan waktu sekarang, kenapa setiap menitnya menangis?

Alea membekap mulutnya sendiri dengan tangan kirinya, agar suara isakan tangis tidak terdengar oleh mamanya.

"Apa kabar, Al?" tanya mama.

"Mama ganti jadi video call ya?" lanjutnya. Namun masih tak ada respon dari Alea yang mencoba menahan sesaknya. Ia mengambil napas dalam-dalam, setelah merasa sedikit membaik ia merespon sang mama.

"Baik ma, kita tidak bisa video call soalnya aku udah ngantuk banget," alibinya.

"Kamu cape banget ya?"

"Iya, setiap harinya aku pergi jalan-jalan cari tahu tentang Jerman. Nanti ku kirimkan foto-foto di Stuttgart, di Ludwigsburg dan di Berlin. Bayangkan saja ma, aku baru beberapa hari di sini tapi sudah tiga kota yang aku kunjungi."

Sengaja ia bercerita yang bertolak belakang dengan kenyataan, karena Alea tidak mau mama tahu dengan keadaannya sekarang, ia hanya ingin mama tenang tanpa memikirkannya.

°°°

Takdir kembali mempertemukan Alea dan Arthur. Alea sedang mengurus pendaftarannya di kampus pilihan papa yang ada di Berlin bersama Leon, cowok itu membantunya tanpa diminta.

Arthur, cowok itu tergolong misterius bagi Alea karena tanpa di sangka mereka satu kampus, Arthur mungkin tidak terlalu kaget saat melihat Alea pertama kalinya di Berlin, namun Alea yang tidak pernah menyangka cowok itu diam-diam punya mimpi di sini.

"Lo pergi aja, gue bareng sama teman dari Indonesia," ujar Alea pada Leon.

Leon mengangguk, kemudian ia meninggalkan Alea dan berbelok ke arah kiri, letak fakultasnya.

"Ambil jurusan apa?" tanya Arthur saat Alea duduk di kursi sebelah Arthur dan menyimpan beberapa berkas di meja yang berada di depannya.

Tempat duduk ini berada di outdoor, karena itu banyak yang berlalu lalang di sini.

"Jurnalistik,"

Arthur hanya mengangguk paham.

Papa pernah menghentikan mimpi Alea, tapi Alea tidak semudah itu menurut pada papa untuk belajar di bidang Bussines Administration, dan tidak menyerah.

Tanpa sepengetahuan papa Alea bebas memilih bidang ilmu yang ia perdalam.

~•~

Terima kasih yang sudah membaca, jangan cuma vote comment di baca mah engga🤣 saya terima kritik dan saran demi memperbaiki kualitas tulisan saya

Love is Delayed ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang