Part 15 ~•~ Real enemy (2)

45 13 1
                                    

~•~

"Devan lebih cocok jadi ketua ekskul paskibra selanjutnya," ujar Stella tanpa melihat semua orang yang berada di ruangan ini, hanya menunduk sambil mengecek berkas biodata anggota paskibra.

Mereka yang mendengarkan saling memandang satu sama lain, tak ada yang berani menyanggah ucapan sang sekretaris itu, sekalipun itu Raihan—ketua ekskulnya, tanpa kecuali Alea yang memutar kedua bola matanya jengah. Semua kembali lagi pada dunianya masing-masing dalam ruang ekskul ini.

Raihan sendiri memegang dua kandidat dan masih mempertimbangkan keduanya.

"Lo lihat dari mana? Setahu gue kita semua memegang dua kandidat, Leon dan Dio," Alea menyahut, Raihan sudah siap menengahi perdebatan antara Alea dan Stella.

Stella melempar beberapa kertas ke hadapan Alea.

"Lihat visi misinya!"

Alea mengabaikannya, ia menatap Stella yang ada di seberangnya. Stella yang awalnya menyandarkan punggungnya kini menegakkannya, matanya tak lepas menatap Alea serius.

"Kita semua tahu bad attitude cowok itu, apa bisa di jadikan pemimpin?"

"Setuju." Kai— salah satu anggota paskibra menyahutnya pelan dan beberapa yang mendengar menyetujuinya dengan mengangguk.

Stella berdecak kesal, pendapatnya selalu bertolak belakang dengan semua anggota.

"Semua berpihak pada lo Al, ini yang lo mau kan?" nada bicaranya sedikit dinaikkan dan semua mata tertuju pada mereka.

"Kenapa topik pembicaraannya berubah?" tanya Alea heran.

"Sudah sudah!" lerai Raihan dengan lembut.

Stella berdiri, sorot matanya menatap Alea. "Lo selalu menang dari gue, Alea." setelah mengatakan kalimat itu, lantas ia pergi dari ruangan ini. Tidak terlalu banyak yang menyadari kepergian Stella selanjutnya, hanya Raihan dan Kai yang keduanya sama-sama tidak memberikan komentar apapun.

Karena geram, Alea mengejarnya lalu menahannya.

"Lo selalu salah paham. Selama ini gue berusaha buat jadi teman lo lagi. Jangan cuma karena Davian lo kayak gini, bahkan gue gak tahu dimana Davian." jelas Alea yang di akhir kalimatnya terdengar sedih.

"Lo masih berharap Davian kembali?" tanya Stella serius.

"Emm." jawab Alea singkat.

Seketika Stella menunduk, lalu menatap Alea kembali dengan tatapan sendu.

"Arthur?"

Alea mengernyit heran ketika sebuah nama lagi ia sebutkan.

"Apa lo berharap juga?"

"Berharap dalam hal apa Stella?"

"Everything."

"Iya." jawab Alea tanpa ragu yang membuat Stella memejamkan matanya, membuang napas beratnya.

Tanpa Alea sadari Arthur berdiri di belakangnya, hanya Stella yang menyadari itu dan sengaja membuat topik pembicaraan ini. Ekspektasinya berharap Alea menjawab tidak dan di dengar langsung oleh telinga Arthur sendiri.

Matanya beralih pada Arthur yang ada di belakang Alea. "Terima kasih selalu jujur, gue sadar perasaan gak bisa di paksa."

Sedangkan Alea mengerutkan keningnya bingung, apakah Arthur di belakangnya?

"Gue pergi." ujar Stella pelan.

Selepas Stella pergi Alea mematung ditempat, tanpa berani menoleh kebelakang.

Kenapa gak sadar ada Arthur?

"Al."

Deg.

Bahkan panggilan dari Arthur membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

"Se— sejak kapan lo di belakang gue?" tanya Alea tanpa melihat lawan bicaranya.

"Lo sendiri yang minta gue jagain lo dari Stella."

Perkataan Arthur membuat dirinya sendiri salah tingkah, tak berani berkutik hanya merutuki kebodohannya.

~•~

Suasana kantin sangat ramai, tetapi Raina hanya seorang diri dengan menu makanan yang sudah di pesannya.

Di tengah menikmati makanan, seseorang menduduki tempat di depan Raina dengan wajah tengil, gadis itu hanya berdecak kesal.

"Kayak gak ada tempat lain aja!" geramnya.

"Kemarin ada haters yang berubah jadi lovers,"
perkataan Darel dengan santainya itu hanya membuat jengkel seorang Raina, ia memalingkan wajahnya seraya mengontrol emosinya.

"Sayangnya fans gue salah paham maksud gue, tapi lo gak apa-apa kan, Tan?"

Tan? Mantan? Selain mengingatkan kejadian kemarin, cowok itu juga mengingatkan sebuah status mantan yang bahkan Raina saja menyesal menyandang gelar mantan Darel itu.

"Lo bisa pergi gak sih? Nafsu makan gue hilang."

Darel malah tertawa meledek, Raina membanting sendok ke piring yang ada dihadapannya, namun cowok itu tak henti-hentinya tertawa, entah menertawakan apa, lebih tepatnya tawa meledek.

Jika sikapnya seperti ini, sang lawan akan merasa menang. Raina menarik napasnya pelan, menatap mata cowok itu dalam.

"Sepertinya lo masih berharap balikan sama gue," ujar Raina yang kini emosianya sudah terkendali.

Darel tertawa, namun raut wajahnya mengintimidasi. Seperti itulah tertawa jahat?

"Hei nona, selain sering salah paham ternyata anda kepedean juga ya."

Raina memegang gelas yang terisi penuh air, ia neludahi isi gelas itu. Keduanya saling menatap dan menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka tidak akan pernah kalah.

"Gelas ini udah siap siram lo." mengingat kejadian waktu itu, perlakuan penggemar Darel padanya. Kini  Raina ingin membalasnya langsung pada sang tokoh utama.

"Waw! Lagi-lagi cari masalah. Di sini juga banyak penggemar gue."

"Gak usah bawa-bawa popularitas di hadapan gue karena gak berlaku sama sekali buat gue takut akan hal itu." ujar Raina tegas.

Darek tertawa dingin. "Hey! Kita lihat seberapa beraninya cewek ini."

Byur

Tak perlu menunggu lama Raina melakukannya, bahkan ia mengambil air berwarna merah yang ada di meja sebelahnya itu, ia tumpahkan lagi pada Darel.

"Permainan yang seru!" kata Raina sebelum pergi dari hadapan Darel.

"Damn!" dalam hatinya kesal.

Seseorang merekam kejadian tadi dalam ponsel yabg di pegangnya.

~•~

Drama apalagi ini???
Semoga suka. Terima kasih.

Love is Delayed ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang