Ruangan bernuansa putih itu terasa asing bagi Alea, mungkin ini akan menjadi kamarnya selama ia di Berlin.
Pintu terbuka menampakkan Beatrice yang masuk ke dalam kamar, Alea langsung memposisikan tubuhnya yang semua berbaring di kasir menjadi duduk.
Beatrice, wanita yang selalu menatap Alea tidak suka. Ia selalu tampil mempesona dengan lipstik merah dan pakaian modisnya, wajahnya memiliki garis kontur yang tegas.
"Ich mag dich nicht in diesem Haus," (saya tidak suka kamu ada di rumah ini) kata Beatrice dengan menyilangkan kedua tangannya.
"Anda kira saya betah di sini?" ujar Alea kesal.
"Pintu terbuka lebar jika kamu mau keluar!"
"Beatrice?" panggil papa heran karena mendengar ucapan kasar Beatrice pada Alea.
Beatrice mengangkat tangannya tak peduli, kemudian ia meninggalkan kamar itu.
"Alea, papa tahu ini berat buat kamu nerima semuanya,"
"Alea datang ke sini bukan cuma untuk melanjutkan pendidikan, tapi membawa pulang papa agar kita menjadi keluarga utuh lagi bersama mama," Alea menumpahkan kembali air matanya.
"Sorry," papa mengusap Puncak kepala Alea pelan.
"Pa, ayok kita Ludwigsburg," mohon Alea, ia mengusap air matanya.
"Kita tidak akan ke sana, kamu akan kuliah di Berlin, Papa sudah memilih kampus terbaik di sini bersama Leon, ia mahasiswa tingkat akhir. Bussines Administration cocok untuk kamu, lupakan Filmakademie itu," jelas papa yang membuat Alea semakin sakit mendengarnya. Datang jauh-jauh ke Jerman untuk mencapai mimpinya, namun papa menghancurkannya begitu saja, padahal orang yang selama ini Alea percaya papa menjadi support terbaiknya.
Tangisannya semakin menjadi-jadi saat papa keluar dari kamar Alea.
"Leon," panggil papa yang melihat Leon menatap simpati pada Alea di ambang pintu.
"Dia sedang menyesuaikan diri di sini, kamu tolong bantu adikmu ya," papa menepuk bahu Leon sekali, lalu papa benar-benar pergi ke lantai bawah.
Sadar ada yang memperhatikannya, Alea melihat Leon dan tatapan mereka bertemu. Alea segera memalingkan wajahnya dan berbaring membelakangi ambang pintu. Leon menutup pintu kamar Alea dari luar agar gadis itu bisa beristirahat.
°°°
"Tidak ada makanan untuk kamu," walaupun ada banyak makanan tapi Beatrice tidak menyediakan bagian untuk Alea.
Ini pertama kalinya Alea menginjakkan kakinya di ruang makan sudah disambut tidak baik oleh Beatrice, Alea hanya memegang perutnya yang terasa lapar, lebih baik mencari makan di luar daripada memakan masakan Beatrice.
Papa dan Leon tidak ada di rumah, hanya berdua dengan Beatrice membuat suasana rumah seperti neraka, Alea memilih menghindari pertengkaran itu.
Tempat kemarin menjadi tempat pilihan Alea untuk menyendiri, tepi sungai Spree. Tenang dan nyaman di sini.
Alea duduk di salah satu kursi panjang yang menghadap langsung ke arah sungai. Melihat foto-foto yang berada di kameranya, foto yang diambil beberapa hari lalu dengan Jia, gadis itu sangat baik, Alea menyesal tidak meminta nomor ponselnya.
Saat menggeser foto-fotonya, ada satu foto yang membuat Alea menatapnya lama juga sendu, foto dirinya sendiri yang berpose di depan gedung kampus impiannya.
"No problem, ada banyak cara meraih mimpi," ujar Alea pada dirinya sendiri.
Ponsel yang berada di sampingnya bergetar, panggilan video dari Arin, Alea tersenyum melihat nama itu.
"Alea..."
"Gue kangen banget sama lo,"
"Lo lagi dimana?"
"Jangan lupa bawa oleh-oleh kalau pulang,"
"Lo gimana sih, Kal? Alea baru juga beberapa hari di sana,"
"Gue kan ingetin doang Rin, heheh,"
Hanya Arin dan Kalila yang bersuara dalam panggilan video, mereka duduk bersebelahan dan saling ribut. Alea menatap kedua temannya itu dengan rasa rindu, walaupun belum lama ia meninggalkan mereka.
"Eh Al lo apa kabar di sana?" tanya Arin.
Lagi lagi Alea menangis, Kalila menyenggol lengan Arin, ia menatap Alea khawatir.
"Lo kenapa?" Kalila membentuk sudut bibirnya ke bawah.
Alea membuang napasnya berat, lalu tersenyum tulus di depan layar.
"Gue cuma kangen banget sama kalian," alibi Alea.
"Gue juga," sahut Arin.
"Sambungkan juga panggilannya ke Raina dong," ujar Alea.
"Dia sibuk pindahan ke dormitory," jawab Kalila.
"Dormitory?" gumam Alea, seketika Alea berpikir jika dirinya juga tinggal di dormitory kampus saja? Dengan begitu ia tidak akan bertemu dengan Beatrice lagi.
"Cowok ganteng pasti banyak kan, Al?" Kalila merubah topik pembicaraannya. Alea terkekeh pelan dengan pertanyaan receh itu.
°°°
Setelah puas makan, kini ia berada di Brandenburg Gate atau Gerbang Brandenburg. Tak ada kata lelah mengelilingi kota ini asalkan tidak di rumah dengan Beatrice.
Alea memotret salah satu ikon di Berlin itu, karena hasil kurang memuaskan ia berjalan mundur, matanya sambil meneliti bangunan itu.
Namun ia menabrak seseorang dengan punggungnya sendiri. Dengan cepat Alea berbalik untuk meminta maaf.
Melihat orang yang ditabraknya membuat Alea mematung ditempat, tidak percaya dengan orang yang ada di depannya kini.
Papa membawanya ke Berlin cukup membuat Alea sakit dan kecewa, mungkin sekarang orang yang kini di hadapan Alea mungkin akan menjadi salah satu alasannya bertahan di kota besar ini.
"Alea?" panggil Arthur heran.
Tanpa ragu Alea menghamburkan pelukannya pada Arthur, entah sudah keberapa kalinya ia menumpahkan kembali air matanya.
Semenjak berada di Berlin Alea menjadi cengeng.
"Gak nyangka ketemu lo di sini, Al. Setahu gue lo bukan di Berlin," ujar Arthur yang baru saja membalas pelukan Alea itu.
"Panjang ceritanya kenapa gue bisa ada di sini," gumam Alea sambil melepaskan pelukannya.
Arthur memegang puncak kepala Alea dengan senyum tipisnya.
"Gue dengerin," sahut Arthur.
"Tapi sebelum itu, kenapa lo bisa ada di sini?"
"Kuliah di sini,"
Jawaban Arthur membuatnya tersenyum, setidaknya ia tidak merasa sendiri di negara asing ini.
~•~
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is Delayed ☑️
Novela JuvenilTentang impian yang tak mudah di gapai. Lika-liku cinta. Suka duka persahabatan. Alea. Gadis itu super sibuk untuk meraih impiannya, prinsipnya tidak menyia-nyiakan waktu. Suatu hari bertemu dengan Arthur dan membuat kesan buruk bagi Alea, namun...