Langit sedikit mendung pagi ini, tahun ini memang diperkirakan musim hujan datang lebih awal. Terbukti, baru menginjak bulan September saja, namun, hujan sudah sering terjadi belakangan ini. Nesya kebetulan tidak membawa payung hari ini, karena mimpinya semalam benar-benar membuatnya tidak bisa fokus pagi tadi. Jika hujan turun tanpa aba-aba nanti, siap-siap saja ia terlambat ke sekolah.
Tidak sengaja, pupil gadis itu melihat teman sebayanya. Seorang perempuan memakai barang mahal sedang diantar oleh ayahnya. Kecupan di kepala gadis itu menambah kesan iri pada diri Nesya. Gadis itu sedikit mendesah kecewa. Entah kecewa kepada orang tuanya, atau Tuhan yang masih belum mendatangkan bahagia.
"Huft.. baru pagi aja udah disuguhin pemandangan kaya gini." dumel Nesya entah pada siapa. Kaki gadis itu terus melangkah menuju ke sekolah. Semangatnya mulai hilang karena pertunjukan sang ayah dengan anaknya tadi.
Nesya menggeleng kuat-kuat,"enggak, enggak. Masa Esya turun semangat cuma gegara tadi. Ntar Papah nggak bangga sama Esya." gadis itu pun mulai melangkah lebih laju dari tadi. Senyum manisnya kembali terbit, mengalahkan langit yang mulai menghitam itu.
"Nesyaa..!!" teriak seseorang dari arah belakang, saat Nesya hampir sampai di kelasnya. Sang pemilik nama pun, membalikkan badannya mencari sumber suara.
Dan, dapat. Orang itu lagi, batin Nesya.Sebagai jawaban, Nesya hanya menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya; kenapa?
Jarak yang sudah cukup dekat antara keduanya, membuat Dewa menghentikan langkahnya. Sedikit mengatur napasnya, pria dengan seragam futsal itu menatap Nesya terpana.
"Lo makin hari makin cantik." batin Dewa memperjelas arti tatapannya.
Karena risih ditatap seperti itu, Nesya kembali membalikkan badan dan meninggalkan Dewa sendirian.
"Nesya tunggu!" lagi lagi, Dewa meneriaki nama perempuan yang menggangu mimpinya beberapa malam terakhir.
Sembari menjajarkan langkah kakinya dengan Nesya, Dewa memulai obrolan. Ehem, lebih tepatnya pertanyaan yang sejak kemarin ingin ia tanyakan. Oh tidak, ini lebih tepat sebagai tawaran. Dan Dewa menyebutnya "pemaksaan".
"Pulang sekolah, nonton yuk. Kebetulan gue ada dua tiket nonton." ajak Dewa memulai aksinya.
"Lo bisa lebih hemat, bisa nonton dua kali." jawab Nesya cuek. Ia hanya ingin cepat sampai di kelasnya dan jauh jauh dari Dewa sialan ini.
"Bukan gitu maksud gue, gue mau ngajak lo nonton."
"Tiap hari juga gue nonton."
"Hah? Nonton sama siapa? Bukannya lo nggak punya pacar? Kaya yang baca."
"Tiap hari gue nonton tv, nonton snapgram orang-orang, nonton manusia yang menjalankan aktifitas. Daaan, gue nonton lo yang tiap hari makin nambah kadar micinnya." setelah mengucapkan itu, Nesya lebih dulu masuk ke kelasnya. Meninggalkan Dewa yang masih bengong sebab perkataan Nesya. Bukan, bukan karena Nesya yang menyebutnya anak micin. Tapi karena perkataan Nesya yang jauh lebih banyak dari biasanya. Dewa pun kegirangan, pria itu loncat-loncat hingga ditegur oleh guru piket yang sedang mengawasi kelas. Seperti biasa, Nesya datang di kelas. Tepat jam tujuh.
***
Bu Hanif sedang menjelaskan materi Matrix dan Logika Matematika di depan kelas. Jam pertama kelas 12 IPA 1 hari ini, adalah Matematika.
Nesya sibuk menggoreskan pena mencatat materi yang sudah seperti cerita dongeng itu. Bedanya, dongeng kali ini memiliki simbol angka yang terlalu banyak.
Belum saja materi selesai dicatat, bu Hanif dipanggil untuk mengadakan rapat dadakan dengan para guru, "Anak-anak, karena materi hari ini belum selesai. Kalian selesaikan sendiri ya, sebagai tugas." jelas sang guru galak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Revealed
HorrorHancur dan lebur seperti lama berkawan tak terpisahkan. Banyaknya tirai bagai labirin tanpa denah dan penuh siksaan. Hal yang biasa dialaminya. Tanpa satu orang pun tahu. Semua berjalan, berkelit, lalu mengguncang. Bak riak air yang tenang, menyimpa...