Kata orang, menatap lawan jenis lebih dari lima menit bisa menumbuhkan rasa suka. Katanya begitu.
Tetapi bagaimana dengan fakta 'perempuan akan memalingkan wajahnya demi menghindari kontak mata dengan pria yang disukainya'. Lalu laki-laki akan bicara sambil menatap mata jika itu dengan wanita yang disukainya.
Merepotkan.
Perihal suka-menyukai saja membuat otak bekerja keras. Seperti saat ini. Nesya harus menahan sekuat tenaga keinginan kakinya untuk kabur dari sini. Nesya harus bisa terlihat biasa saja dan menatap laki-laki di depannya dengan mantap.
Tatap lagi.
Sialan. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya mulai lupa cara diam dan tenang. Tetapi Nesya tak mau kalah--tidak mau terlihat apa yang ia coba pendam.
"Pakai motor aja gimana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan pribadinya dengan laki-laki itu, Dewa.
"Motor? Bukannya lebih praktis pakai mobil, Nes?"
"Iya, tapi coba pikir deh. Kalau pakai mobil, plat mobilku banyak yang tau. Kalau ternyata di sana ada orang sekolahan kita, gimana? Inget ini misi rahasia, kan?"
Semua mengangguk menyetujui usul Nesya. Pun dengan Aziah yang tadi sempat menyangkal. Mereka memutuskan untuk menggunakan motor saja. Masuk akal juga pemikiran Nesya. Mereka saat ini sedang menyamar--bukan sebagai anak remaja yang masih sekolah.
Dengan barang bawaan seadanya juga pembagian sesiapnya, mereka saling beroncengan mengendarai motor.
Tetapi sekumpulan anak manusia ini bukanlah yang pandai berdiam ria. Baru tadi berargumen, kini mereka kembali berdebat meributkan siapa yang menyetir. Gibran dan Dewa sudah setuju menjadi supir. Sedangkan Wira masih kebingungan akan menumpang di mana.
"Lagian lo laki ngapa lemah banget, dah!" Aziah menimpuk kepala Wira dengan botol minumnya.
"Astaga, anak setan! Kepala gua garansinya gak seumur hidup, coy! Itu botol kayaknya lumayan ya jadi alat tukar sertifikat tanah," seloroh Wira sembari mengusap kepalanya. Cukup sakit, tetapi bocah yang hidupnya serba disangkut-pautkan dengan lelucon itu tidak terbiasa menjadi serius. Maka dari itu meski kesal, tetap saja yang Wira lontarkan adalah candaan.
"Terus gua sama siapa, woy? Gua ini lho gak bisa naik motor. Lu tau kan--"
Wira memotong ucapan Nesya dengan raut nyinyir begitu kental. "Iya yang selama ini tinggal di istana. Mau ke dapur aja pake sapu mak lampir--gak terbiasa tuh sama yang namanya ken-da-ra-an," Wira memberi penekanan pada akhir kalimatnya.
Nesya mendelik. "Anjing sama bangsat kasaran mana?!" gertak gadis itu sambil bertolak pinggang.
Wira hanya nyengir tak berdosa sementara yang lain geleng kepala melihatnya. Gibran sebagai yang paling dewasa dalam menyikapi beberapa hal, menengahi dengan berucap, "Rani boncengin si Anak Kunyuk--"
"Bangsat!" sela Wira.
"Nesya sama gue--"
"Mana bisa!" Kini Dewa yang menyela. Matanya tampak menyala. Hal yang cukup membingungkan bagi semua orang.
Aziah maju merangkul Dewa. "Bisa, ganteeeng. Gue sama lo, ya?" satu mata gadis itu berkedip manja. Dewa yang terbiasa dengan keisengan Aziah hanya menatap datar gadis itu.
Atensinya kembali pada Gibran. "Lo bilang, lo lagi kurang fit! Ya udah sih biar Aziah aja yang lo bonceng. Jangan Nesya. Itu bocah mana bisa diajak gantian--dia gak bisa naik motor."
"Gue juga gak bisa," sahut Aziah meledek Dewa.
"Gue tabok lu ya, Zi!"
"Dewa galak ah~"
![](https://img.wattpad.com/cover/255686538-288-k113326.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Revealed
HorrorHancur dan lebur seperti lama berkawan tak terpisahkan. Banyaknya tirai bagai labirin tanpa denah dan penuh siksaan. Hal yang biasa dialaminya. Tanpa satu orang pun tahu. Semua berjalan, berkelit, lalu mengguncang. Bak riak air yang tenang, menyimpa...