•
•Pupilnya melebar. Ini bahkan lebih menakutkan dari menonton tayangan horor sendirian. Mundur terseok, ia terjerembab. Lantaran kaki sialannya yang mendadak bergetar--barangkali karena takut yang menyerangnya.
Gedoran itu tak kunjung reda. Malah makin menggebu seolah hendak merubuhkan pintu setinggi dua meter di hadapannya saat ini.
Sungguh itu kecelakaan.
Dirinya tidak sengaja. Tidak sengaja melihat yang tidak seharusnya. Lalu sesuatu terjadi. Emosi benar-benar merepotkan, ya. Menjengkelkan. Membuat semuanya berantakan.
Tidak.
Sesuatu di balik pintu itu tidak akan berhenti. Tidak setelah turut menyaksikan. Atau sebenarnya memergoki aksinya?
Ah, menyebalkan. Kenapa pula harus seperti ini akhirnya. Mengangkat kedua telapak tangannya, hampir ia berteriak. Cairan merah kental masih tampak segar di telapak tangannya. Mengalir ke sepanjang lengannya.
Bibirnya bergetar.
"Enggak. Itu ... itu kecelakaan. Kalau aku enggak lihat, itu enggak bakal kejadian. Itu enggak sengaja. AKU ENGGAK SENGAJA, MADER!"
Gedoran terhenti. Tetapi tidak dengan getaran tubuhnya. Tak terkendali. Ia melarikan tangannya ke leher. Wajah. Lalu tengkuk.
Ada. Bercak merah itu ada juga di sana. Ia menggosoknya; berusaha menghilangkan. Makin cepat. Dengan dada bergemuruh. Ini sulit. Tidak ada air di sekitar sini. Bagaimana membersihkannya--ia merasa hampir gila sekarang.
Sesuatu di balik pintu itu bersuara.
"Per-gi. A-nak na-kal!"
Suaranya berat seperti laki-laki. Tetapi tidak berbariton. Seperti serak dan besar. Tetapi bukan suara laki-laki. Jelas. Seseorang di sana adalah wanita.
Tatapannya berubah. Dari yang tadinya penuh binar ketakutan, kini menajam. Rahangnya mengeras. Getar perlahan surut dari tubuhnya. Ia mengepalkan tangan dan tak lama ... ia tertawa. Begitu kencang. Sampai sudut matanya mengeluarkan air mata.
"Yaaa! Aku memang. Itu sengaja. Terus, kenapaaa? Haaa?! Apa yang anak-anak inginkan, harus dituruti, bukan? Itu hak anak. Aku enggak salah 'kan, Mader?"
Tidak ada sahutan. Sepertinya cukup memuaskan jawaban darinya. Ia tertawa lagi.
"Kenapa aku melakukannya? Kenapa, ya?" Jari telunjuknya mengetuk dagu. Ekspresi seperti sedang berpikirnya mulus sekali. Dan itu malah memberi aura menakutkan. Menyeramkan untuk usia belia.
"Oh, aku tau! Dia mancing-mancing aku, sih. Kalau aja aku enggak lihat apa yang dia lakuin ... pasti sekarang dia lagi makan sambil disuapin mamanya. Ah ... aku jadi rindu Mama. Mader, tolong bereskan, ya?"
Tidak ada sahutan lagi.
"Kalau tidaaak, aku bisa ngelakuin itu lagi, lho~"
"Naaa-kaaal!"
Bocah itu tertawa. "Kelinci itu menggemaskan. Tapi aku lebih tertarik dengan majikannya. Seharusnya saat ini si kelinci masih punya majikan." Ekspresinya berubah murung seketika.
Ia melempar pandangan ke arah hewan kecil berbulu putih di ujung ruangan sana. Hewan yang menjadi asal mula semua kerusuhan ini.
"Hei, Manis! Kemari!" panggilnya. Kelinci malang yang bodoh. Dengan sukarela langsung menghampiri si pemanggil. Tidak tahu bahwa hal lain akan terjadi. Lagi.
Dielusnya bulu halus si kelinci. Ia peluk erat-erat. Menyalurkan rasa sayangnya lewat pelukan. Namun, sepertinya rasa sayangnya terlampau besar. Sebab pelukannya kian mengerat. Tambah erat. Kencang. Seperti akan meremukkan badan si kelinci.
Suara cicitan mulai terdengar. Mungkin sakit sudah mulai dirasa. Sedangkan sang pelaku, terus tersenyum lebar.
"Mamamu sudah di surga. Kamu mau ketemu dia? Aku antar, ya." Dibantingnya kelinci itu ke tanah. Tangannya menyambar pisau di sisinya. Pisau yang selalu ia bawa ke mana-mana sejak saat itu. Pisau rumah biasa. Yang sudah memakan banyak korban jiwa.
"Kalian menyebalkan. Kalian pantas mati! Kalian sama seperti mereka! MATI! MATI! MATI!"
Dan yang terjadi selanjutnya, hanya dirinya yang tau. Barangkali saksi bisu sekitarnya seperti tanah, batu, tembok, juga pisaunya. Tetapi seperti katanya. Saksi bisu. Mereka semua bisu.
Ini bukan kali pertama. Ia bukan amatiran. Tidak ada orang dewasa yang menolongnya. Bahkan mungkin bisa dibilang, mereka yang mencipta karakter lain dari dirinya.
Maka dari itu, tidak ada yang bisa menghentikannya. Kecuali ... mereka siap menjadi korban selanjutnya. Lagi pula, ini tidak pernah terbongkar. Tidak ada yang sadar, bahwa di dalam tubuh kecilnya, bersemayam monster menakutkan.
Semua tertutupi dengan sempurna.
•
•[( Bersambung )]
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Revealed
TerrorHancur dan lebur seperti lama berkawan tak terpisahkan. Banyaknya tirai bagai labirin tanpa denah dan penuh siksaan. Hal yang biasa dialaminya. Tanpa satu orang pun tahu. Semua berjalan, berkelit, lalu mengguncang. Bak riak air yang tenang, menyimpa...