Nesya tengah tertawa karena ulah Wira dan teman-temannya. Apalagi, jika bukan Wira yang selalu membuat pernyataan konyol hingga perut mereka sakit.
"Udah deh, Wir. Mending lo diem, gue nggak bisa berhenti tertawa ini." perintah Rani yang disetujui oleh teman-temannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 14.25 yang artinya 5 menit lagi bel pulang berbunyi. Kebetulan, kelas 12 IPA 1 sedang jamkos di jam terakhir. Jadi mereka bisa santai sambil menunggu bel. Bahkan ada yang sebagian sudah pulang lompat gerbang.
"Nesya, mau pulang bareng gue nggak?" tanya Gibran, tepat setelah bel pulang berbunyi.
Nesya berpikir sejenak, sebelum ambil keputusan. Dia masih sedikit merajuk kepada Gibran pasal tadi pagi. Gara-gara teka-teki sok misterius darinya tadi, Nesya dihukum oleh pak Budi. Tapi, jika dia menerima tawaran Gibran, itu artinya uangnya aman kali ini. Nesya mengangguk mantap sambil menggendong tasnya di bahunya.
"Eh Nesy, soal teka-teki tadi pagi gimana?" tanya Gibran membuka obrolan. Mereka sedang melewati koridor IPS saat ini. Sengaja, Gibran mengambil jalan yang cukup jauh menuju parkiran dan tentu juga sepi. Ia masih penasaran dengan teka-teki itu. Ia tidak ingin, tidurnya terganggu lagi hanya karena teka-teki bodoh itu.
"Jangan dibahas deh, Gib. Gara-gara teka-teki lo tadi pagi, kita dihukum pak Budi. Mana hukumannya berat banget lagi. Padahal'kan cuma baca doang kita." oceh Nesya sambil memanyunkan bibirnya.
Bukannya takut, Gibran malah tertawa terbahak-bahak. Nesya imut sekali dengan eskpresi seperti itu. Gadis itu benar-benar ekspresif.
"Ish, Gibran. Kok lo malah ketawa sih?" lagi lagi gadis dengan iris mata hitam itu menggerutu. Bahkan kali ini tangannya aktif memukul bahu Gibran.
"Sorry, Nesy. Habisnya, lo imut banget." Gibran tulus mengucapkan itu.
Hingga kini, mereka sampai di depan perpustakaan. Nesya masih memukuli Gibran sampai cowok itu mengaduh kesakitan. Benar-benar tenaga cewek disampingnya ini melebihi kapasitas kemampuan.
"Stop Nesya, ampun." berulang kali Gibran mengucapkan itu, namun, Nesya tak menggubrisnya. Membuat Gibran kesakitan, seperti ada kesenangan tersendiri baginya.
"Gue gak berhenti sebelum.." tiba-tiba Nesya menghentikan ucapannya sekaligus tindakannya. Ia mendengar suara tangisan dari dalam perpustakaan.
"Lo denger suara apa gitu gak, Gib?" tanya Nesya polos. Gadis itu hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam perpustakaan. Tapi tangan Gibran lebih cepat dari gerakannya.
"Sekolah udah sepi, Nesy." peringat Gibran.
Mata Nesya menatap lelaki itu seolah bertanya; ya terus?
Nesya mengabaikannya dan melanjutkan langkahnya. Gibran tidak bisa mencegah Nesya lagi karena gerakan gadis itu benar-benar lebih cepat dari yang sebelumnya. Kini, Nesya dan Gibran sudah di depan perpustakaan. Salah satu tangan Nesya memegang kenop pintu. Tapi, pintu itu terkunci.
"Lah, kok aneh." dahi Nesya berkerut.
"Gue tadi juga denger ada suara orang nangis. Tapi, udahlah Nesy. Abaikan aja." Gibran segera menarik tangan Nesya menjauh dari tempat itu. Tiba-tiba bulu kuduknya merinding.
"Ets, tunggu dulu, Gibran." Nesya melepaskan tangannya dari cekalan Gibran. Jujur saja, ia juga takut. Tapi penasarannya lebih mendominasi kali ini. Siapa yang siang-siang seperti ini menangis di dalam perpustakaan? Lagipun perpustakaan itu juga terkunci.
"Apa lagi?" tanya Gibran mulai jengah. Gadis ini keras kepala sekali.
"Kalau orang itu butuh bantuan, gimana?" tanya Nesya mulai meracuni otak Gibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Revealed
TerrorHancur dan lebur seperti lama berkawan tak terpisahkan. Banyaknya tirai bagai labirin tanpa denah dan penuh siksaan. Hal yang biasa dialaminya. Tanpa satu orang pun tahu. Semua berjalan, berkelit, lalu mengguncang. Bak riak air yang tenang, menyimpa...