Freya memacu mobilnya terus ke arah selatan. Andra sempat bingung melihat sekitar karena arah ini sepertinya berlawanan dengan arah jalan pulang. Ditambah, berulang kali Freya mengambil rute yang berbeda dari yang ia tau.
"Kita mau kemana? Ini kan bukan arah jalan pulang," protes Andra bingung sambil melihat luar.
"Emang bukan," balas Freya santai. "Mumpung udah sampe sini, kita sekalian ke Bogor. Refreshing."
"Hah, kok tiba-tiba banget," celetuknya heran.
"Saran dokter harus segara dilaksanakan," balasnya.
Andra hanya geleng-geleng kepala. "Terserah lo aja deh," ujarnya malas. ia kemudian menyandarkan kepalanya ke jendela dan memejamkan matanya.
Freya hanya tersenyum sejenak sambil terus melihat ke depan. Sebenarnya, ia juga ingin refreshing. Sekalian saja, sambil ia menemani Andra sambil menyegarkan pikirannya sejenak. Lagipula liburannya di Lombok kemarin juga tak jadi. Jadi sekarang sekalian saja.
Freya terus memacu mobilnya dengan mata berbinar.
###
Empat puluh lima menit kemudian, mobil mereka memasuki parkiran yang luas. Lapangan parkiran itu dikelilingi pohon tinggi, membuat udara sekitar menjadi sejuk dan dingin. Bahkan, hanya dengan melihatnya saja sudah menyejukkan.
Andra dan Freya keluar dari mobil. Sejak menurunkan kakinya, Freya tak bisa menahan senyumnya. Ia beberapa kali menghirup udara segar dengan suara napas yang keras, lantas berjingkrak kegirangan. Andra sampai geleng-geleng kepala heran melihat kelakuan Freya yang seperti bocah.
"Ah... segarnya," desisnya.
Andra tak terlalu mempedulikan Freya. Ia mengedarkan pandangannya, melihat sekeliling. Alam sekitar memang indah. Dedaunan dari pepohonan hijau rimbun menyejukkan mata, udara segar dengan sensasi dingin khas udara pegunungan da nada pemandangan gunung meski tertutup sebagian pepohonan. Ia juga bisa mendengar gemercik air dari sungai yang emngalir di bawah.
"Hei. Ayo," Freya setengah berseru. Ia sudah agak jauh dari Andra.
Andra pun segera melangkahkan kakinya mengikuti Freya. mereka menuju sebuah kafe bertingkat yang berada di tengah-tengah kebun bunga. Kafe itu terlihat unik. Desainnya sederhana, tapi menarik. Lantai dan dindingnya terbuat dari kayu bercat cokelat gelap. Sebagian dindingnya kaca tembus pandang untuk menikmati pemandangan luar.
Mereka mulai masuk ke dalam kafe. Kafe itu cukup luas, tapi tak terlihat kosong. Beberapa pajangan klasik dipajang sebagai dekorasi. Di sepanjang dinding menuju tangga ke lantai atas terpasang foto-foto pengunjung dan beberapa menu andalan yang dipajang besar. Foto-foto itu dibuat berjajar rapi dengan nuansa hitam putih, dibingkai dengan pigura terbuat dari kayu. Beberapa pahatan kayu kecil-kecil di pajang di atas meja dekat dinding.
Mereka berdua kini duduk di salah salah satu bangku di balkon depan lantai dua. Andra tak jemu-jemunya menatap pemandangan sekitar. Pemandangan gunung di depannya begitu indah. Warnanya hijau kebiruan dengan ujung tak terlihat ditutupi awan. Di bawah, bunga-bunga berwarna warni. Ada sungai mengalir di bawah. Airnya jernih, hingga ia bisa melihat ikan-ikan berenang dengan bebas.
"Gimana tempatnya. Bagus kan?" ujar Freya bangga.
"Lumayan," balasnya. Tapi Freya tau kalau sebenarnya penilaiannya lebih dari lumayan. Ekspresi mata dan wajahnya tak bisa membohongi.
"Oke, lo mau pesen apa?" tanya Freya sambil menyodorkan menu kepadanya.
"Lo aja yang milih. Gue nggak terlalu ngerti menu di sini."
"Oke," balasnya. Ia pun berpaling kepada pelayan yang tengah menunggunya dan berkata: "Menu special sama Lovely Drink-nya satu."
Pelayan itu pun mencatat pesanannya kemudian pergi.
"Nggak usah sekagum itu. lo kayak nggak pernah main ke gunung aja," ejek Freya.
"Emang nggak," balas Andra terus terang.
"Serius lo nggak pernah?" ulangnya kaget. Andra hanya mengangguk.
"Gue lebih suka main ke pantai," balasnya.
"Emang ada apa sih di pantai. Palingan juga cuma pasir dan air," komentar Freya meremehkan.
"Iya bener sih. Tapi udah jadi kebiasaan gue kalo lagi nggak ngerasa enak pergi ke pantai."
"Lah, berarti harusnya kita ke pantai aja dong. Lo kok nggak bialng sih? Apa kita cabut ke pantai aja?" ujar Freya. Ia buru-buru mengambil tasnya dan berencana mengajak Andra pergi.
"Udah, udah terlanjur di sini. Kasian tuh menu special ntar siapa yang makan," candanya.
Freya hanya menghela napas. Ia pun kembali ke tempat duduknya. Pandnagnnya kini beralih ke amplop yang berada di tasnya.
"Aduh, ngapain amplop ini gue bawa ya?" ujarnya sambil menepuk jidadnya sendiri.
"Udah, sini kasih gue aja," balas Andra mengulurkan tangan, meminta amplop itu.
Ia baru saja ingin memberikan amplop itu kepada Andra, namun tiba-tiba menariknya kembali saat mengingat belum melaporkan kepada Zian. "Eh, tapi gue belum fotoin ke Zian. Lo aja deh yang fotoin."
"Gue kan yang punya, ngapain juga harus gue fotoin dan share ke orang lain."
Freya memutar bola matanya. Bilang saja tak mau memotokan, batinnya. Ia pun mengeluarkan kertas dalam amplop itu, memotonya, dan mengirimkan hasilnya pada Zian. Kertas itu kembali ia masukkan dan amplopnya diberikan pada Andra.
"Eh, tapi kalo gue boleh tau, lo kenapa sih bisa sampe kayak gini? Ya, secara ya, orang kayak lo ini kayak nggak mungkin banget gitu punya penyakit mental," celotehnya penasaran.
Andra diam sebentar. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tangan kirinya dibiarkan mengetuk meja. Ia terlihat berpikir.
Melihat raut muka Andra yang berubah, Freya pun berkata lagi: "Ya, kalo lo nggak mau cerita juga nggak apa-apa sih. Itu hak lo. Gue cuma mau bantu aja siapa tau setelah lo cerita gue bisa bantu sesuatu."
Andra menarik badannya ke depan. Ia kini menghadap Freya.
"Gue emang kayak gini setiap tanggal kematian ayah gue," ujarnya. "Emang nggak ada orang yang tau, selain Zian dan tante Mia. Semua ini berawal dari meninggalnya ayah gue."
Andra pun mulai bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan In Love [END]
RomanceApa jadinya kalo harus hidup satu kos sama cowok yang nyebelin? Freya yang terpaksa harus balik ke kos untuk menyelesaikan tugas akhirnya ternyata harus berbagi kosan dengan anak pemilik kos yang super nyebelin. Dia berulang kali harus menahan emosi...