Zian memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali klakson dari mobil lain berbunyi akibat cara menyetirnya yang ugal-ugalan. Lizzy yang di sebelahnya berpegangan erat pada pegangan pintu khawatir akan dua hal: pertama keselamatannya, kedua wawancaranya.
"Pelan-pelan," ujar Lizzy sambil memejamkan mata, takut.
"Diem lo," ketus Zian. "Lagian kenapa coba lo nggak ngomong dari tadi?Kan kita bisa berangkat lebih awal."
"Y...Ya maaf, gue juga lupa baru keinget kalo hari ini ada wawancara," balasnya lirih.
Zian hanya memutar bola matanya sambil terus mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Tepat satu jam dari waktu yang dijanjikan, mereka sampai di tempat wawancara, Global Language Corp. Tanpa banyak tingkah lagi, Lizzy langsung berlari menuju tempat wawancara tanpa memedulikan Zian yang baru keluar dari mobil. Ia bahkan sampai tak menutup pintu mobil yang membuat Zian geram namun Lizzy tak peduli.
Ia sampai di ruangan yang telah tertulis di email-nya pada pukul 10.59. Tepat pada saat ia hendak mengetuk, pintu terbuka. Empat orang dengan pakaian rapih dengan jas dan map di tangannya keluar dari ruangan. Tiga berwajah blasteran, satu indo asli.
"Maaf, Pak. Apa saya masih bisa ikut wawancara?" tanyanya pada satu dari empat orang yang berwajah melayu. Orang itu melihat jam di tangannya.
"Jam berapa ini? Mengapa baru datang? Wawancara sudah selesai," ujarnya terlihat keberatan.
"Maaf pak, tapi tadi ada kendala di luar." Lizzy beralasan.
"Maaf, tapi aturan tetap aturan," balasnya kokoh.
"Ta..Tapi Pak..."
"Halo tuan Alberto." Zian tiba-tiba datang dan langsung menyapa orang yang tengah berbicara pada Lizzy. Orang itu terlihat sedikit terkejut akan kemunculan Zian, namun beberapa saat kemudian wajahnya langsung terlihat senang. Mereka berdua bersalaman. Lizzy yang melihat pemandangan itu sedikit bingung.
"Tuan Zian. Ada perlu apa anda kemari?" sambutnya ramah.
"Ah, saya ingin mengantarkan interpreter anda. Dia bekerja sangat baik. Saya lihat kemampuan interpreter dari agensi ini samakin bagus ya," ujarnya sambil melihat Lizzy.
Lizzy membelalak terkejut, sedangkan lelaki yang bernama Alberto itu ikut menatapnya dengan heran.
"Maaf tuan Zian. Sepertinya ada kesalahpahaman. Dia bukan interpreter dari agensi kami. Dia baru calon yang terpilih untuk tahap akhir," ungkapnya menjelaskan.
"A, baru calon karyawan tapi kemampuannya sudah sangat baik?" Zian memasang wajah takjub melihat Lizzy. Lizzy pun semakin bingung. Entah apa yang sedang Zian coba lakukan. Sandiwara apa yang ia coba mainkan.
"Saya yakin nona pasti akan menjadi interpreter yang hebat. Saya ingin bekerja sama dengan nona kedepannya," ungkapnya sambil mengambil tangan Lizzy. Menggenggamnya seolah berharap. Lizzy melotot, namun Zian memberi isyarat untuk mengikuti saja permainannya. Maka Lizzy pun segera berakting, berusaha tersenyum, meski masih terlihat canggung.
"Ta...Tapi... Nona ini terlambat wawancara," balas Alberto.
Zian menatap orang itu, pura-pura bingung. "Jadi nona ini tidak bisa jadi interpreter di sini? Ah, sayang sekali. Padahal saya melihat kerjanya yangs angat bagus. Saya bahkan belum pernah melihat interpreter yang sehebat nona ini." Zian pura-pura kecewa.
"Nona, anda mau ke agensi mana? Saya akan datang ke agensi tersebut agar bisa tetap bekerja sama dengan nona," ujar Zian. Lizzy risih sebenarnya melihat Zian yang seperti ini. Seperti perayu ulung.
Alberto terlihat berpikir. Ia bingung harus memilih antara melanggar aturan yang dibuat perusahaan atau kehilangan klien, beruhubung Zian adalah orang yang sering menggunakan jasa mereka.
Zian mengisyaratkannya untuk melangkah pergi. Lizzy pun mengangkat kakinya dan melangkah berbalik.
"Tu... tunggu nona," cegahnya. Lizzy pun berbalik.
"Anda masih diperbolehkan mengikuti wawancara. Saya akan panggilkan beberapa pewawancara lainnya," lanjut Alberto. Ia pun segera bergegas menuju ruangan sebelah diamana ketiga temannya masih berkumpul.
Lizzy senang bukan main. Ia hampir saja berjingkrak jika tak ada orang di sana. Ia melirik ke arah Zian sambil mengacungkan jempol dan mengumpulkan kedua tangannya di depan dagu, mengisyaratkan terima kasih. Lizzy pun dipersilakan masuk setelah empat orang itu berkumpul.
Zian pun menatap punggung Lizzy sampai ia masuk ke dalam. Sejenak, ia mengesah panjang. Dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana, ia pun beranjak sambil tersenyum simpul.
###
Zian tengah berdiri menatap luar saat Lizzy datang. Tangan kanannya memegang saku celana, sementara tangan kirinya memegang ponsel. Badannya terlihat tegap dan proporsional. Dengan wajahnya yang tegas, membuat wanita yang lewat mencuri-curi pandang bahkan berbisik membicarakannya.
Lizzy menghampirinya. Zian menoleh saat mendengar derap langkah seseorang mendekat.
"Udah selesai wawancaranya?" tanya Zian.
Lizzy mengangguk.
"Makasih ya, udah bantuin gue," ucapnya.
"Mutualisme. Anggep aja sebagai bonus kerja lo," balasnya ketus.
Lizzy terlihat cemberut. Zian ternyata telah kembali pada sikapnya yang jutek. Jika ia ingat sikap Zian di depan Alberto yang berakting sebagai pengagumnya, ia jadi ingin tertawa. Membayangkannya saja sudah lucu. Ia baru saja ingin menggodanya saat perutnya berbunyi. Zian seketika menoleh. Lizzy terlihat malu.
"Lo laper?" tanyanya.
"E... enggak. Lo salah denger kali," elak Lizzy.
Kruuuk. Perutnya berbunyi lagi.
"Ayo pergi. Keburu suara perut lo kedengeran orang banyak," ledeknya sambil berjalan duluan. Lizzy pun memegangi dahinya merutuk perut yang berbunyi tanpa bisa diajak kompromi. Ia kemudian segera melangkah menyusul Zian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan In Love [END]
Любовные романыApa jadinya kalo harus hidup satu kos sama cowok yang nyebelin? Freya yang terpaksa harus balik ke kos untuk menyelesaikan tugas akhirnya ternyata harus berbagi kosan dengan anak pemilik kos yang super nyebelin. Dia berulang kali harus menahan emosi...