21

938 43 0
                                    

Hari-hari yang dilalui selama PKL Letta semula hubungan dengan Wian yang semakin membaik dan mulai membuka diri lagi, terpaksa kembali berubah pasca motif Wian mendekati Letta tidak ada ketulusan sama sekali. Perempuan itu benar-benar bersikap di antara mereka kini hanya atasan dan bawahan sementara di tempat kerja. Selebihnya Letta bahkan tak mengindahkan komunikasi yang coba dijalin Wian kembali. Entah saat bertemu di ruang kerja atau pun melalui ponsel.

"Letta?" panggil suara Nirvana dari bangku sebelahnya. Letta masih fokus pada pekerjaannya. "Letta?"

"Eh iya, bu, ada apa?" begitu sadar ada yang memanggil namanya, Letta langsung menoleh.

"Kamu diminta pak Wian buat ke ruangannya."

Letta mengangguk-ngangguk, "baik bu."

Ia pun langsung berdiri dari duduknya. Sekaligus melepaskan diri dari pekerjaan selama PKL yang tak seberapa sibuknya tetapi ia memang berusaha menyibukkan diri. Pikirannya perlu melepaskan diri dari memikirkan Wian Wian dan Wian. Tetapi keadaan tak memihak padanya, karena Wian nyatanya meminta pertemuan. Entah untuk apa. Karena ia merasa terlalu sering untuk bertemu di ruangan padahal tak penting-penting amat. Untuk bimbingan dengan pembimbing PKL pun tak perlu sesering itu.

"Silakan masuk."

Suara itu kembali didengarnya. Kali ini rasanya berbeda lagi mendengarnya. Ada ngilu yang perlahan menyusup dalam hatinya. Merasa terkhianati. Terlebih ketika ia merasa dirinya mulai menerima dan meyakini akan ada lelaki dengan tulus bersikap baik padanya. Tetapi semua itu kembali terpatahkan. Wian bersikap baik karena ada maunya.

Wian berdiri dari bangku kerjanya. Menatap ke arah Letta dan tak melepaskan pandangan itu sedikit pun. Walau begitu keduanya terus berpandangan tanpa saling melontarkan kata-kata. Wian pun seolah lupa tujuannya memanggil Letta saat ini.

"Ekhem... pak? Maaf, ada apa yang memanggil saya ke ruangan?" Letta memecah keadaan yang tak mengenakan ini dan ia pun sebenarnya tak ingin berlama-lama berhadapan atau ada di satu ruang yang sama dengan Wian.

"Ah..." Wian tersadar dari lamunannya yang sembari menatap Letta. "Ini tentang PKL kamu. Pak Argi sudah kembali dari tugasnya, jadi mulai minggu depan saya akan antar kamu bertemu pak Argi."

+++

Letta baru saja menyelesaikan PKLnya di hari Jumat ini. Begitu keluar dari pelataran parkir, ia memikirkan dirinya akan menuju ke mana. Waktunya tak boleh dibiarkan menyendiri, ia tentu harus menikmati bersama keramaian. Ia tak boleh menikmati rasa sakit karena pengkhianatan Wian.

Sembari menikmati perjalanan dan memikirkan tujuannya. Letta mencoba menyalakan radio di mobilnya. Namun belum juga musik yang ingin didengarnya terdengar, malah didahului panggilan telepon dari seseorang yang tak pernah ada di daftar untuk menghubunginya, kecuali itu sangatlah penting.

"Halo?"

"Letta gue mau minta tolong, buat kali ini aja..." kata-kata itu terputus, ada nada suara yang tak pernah didengar dari seorang yang menelponnya itu.

"Kenapa?"

"Gue pendarahan..."

Mendengar kalimat itu, mobil yang dikendarai Letta langsung berbelok ke arah yang bukan tujuannya. Kecemasan itu membaluti dirinya. Pikirannya dengan telepon yang diterimanya itu ternyata benar. Ia tak akan menghubunginya jika tidak benar-benar penting.

+++

Begitu sampai di apartemen Onya, Letta menghubungi perempuan itu. berharap tak terjadi hal yang lebih serius karena fokus mengendarai mobilnya tadi. Ia perlu segera sampai ke tempat tujuannya.

"Password apartemen lu apa?'

Seseorang di dalam panggilan teleponnya mengucapkan dengan terbata. Letta langsung menekan tombol-tombol untuk membuka pintu ruang apartemen itu. Panggilannya kini tidak dibiarkan terputus. Sampai kemudian ia berhasil membuka pintu apartemennya, Letta melihat seseorang yang terduduk di bangku di bawah tempat tidurnya. Wajahnya nampak pucat dan tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Maafin gue, Tta, udah ngerepotin."

+++

Di lorong rumah sakit, Prisa melihat Letta yang sedang duduk di bangku dekat ruangan tertera nomor 102. Perempuan yang baru dilihatnya setelah kejadian waktu itu yang jika diingat itu terasa memalukan. Tapi Prisa harus bertemu ia saat ini dengan ketidaksengajaan.

Sebelum Onya menghubungi Letta. Ia terlebih dahulu menghubungi Prisa. Sayangnya permintaan tolong itu tak bisa langsung ia kejar. Prisa sedang berurusan dengan kekasihnya saat itu. Ia cukup terlambat untuk datang. Sebelum sampai ke rumah sakit pun ia telah memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada temannya. Walaupun ia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi pada Onya.

"Aletta?"

Mendengar suara yang memanggilnya, Letta langsung mengangkat kepala yang agak tertunduk sedari tadi.

"Gimana keadaan Onya? Onya kenapa?"

"Dia udah baik-baik aja, tapi bayinya nggak bisa diselametin." Paparnya singkat dan terlalu mengejutkan didengar Prisa.

Bukan Prisa saja yang terkejut. Letta pun sedari tadi memikirkan yang terjadi pada Onya. Selama berbulan-bulan ini memang ada yang nampak berbeda dengan perilaku dan tubuh Onya, tetapi Letta tak mau sibuk mengurusi urusan orang lain. Sayangnya dari ketidakpedulian itu Letta mendapati hal yang sangat tak terduga.

Begitu mendapati keadaan Onya yang sedang mengandung besar, Letta tak menyangka sama sekali. Lelaki yang menanam benih dalam rahim Onya pun ia tak pernah tahu sosok bahkan sekadar namanya pun tidak. Tapi satu hal yang menjadi pikiran baginya, ia merasa terhempas ke masa ketika ia tahu dirinya adalah anak haram yang tak pernah melihat sosok ayahnya, sedangkan ibunya tidak dalam keadaan baik-baik saja untuk menjelaskan yang terjadi.

"Gue nggak tau..." Prisa yang tadi duduk di sebelah Letta, menyuarakan pikirannya. Ia terkejut bukan main. "Gue temen macam apa sampe nggak tau keadaan Onya selama ini..."

Prisa mengusap airmatanya yang sedari tadi mencoba menahan diri untuk menggenang saja di pelupuk matanya, tapi sekarang tidak bisa. Di antara ia dan Letta, ia lah yang selama ini mengaku teman Onya. Mereka pun cukup dekat. Tapi, ia bahkan tidak tahu Onya dekat dengan siapa atau punya kekasih atau yang terjadi pada perempuan itu. Yang jelas, kalau Onya hamil artinya ia memiliki kekasih atau sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi.

"Kemarin gue baru aja nelepon Onya. Gue langsung ngerentetin pertanyaan tentang hubungan gue, bahkan gue gak memulai dengan nanya keadaan dia. Gue jahat banget..." Prisa mulai menyuarakan tangisnya.

Letta menoleh. Tidak berusaha berbuat apa-apa. Bukan tak peduli, hanya saja ia tidak merasa ada kedekatan di antara mereka sampai tidak tahu harus bersikap bagaimana.

"Onya pasti sakitnya berkali-kali lipat kalo tau bayinya kenapa-kenapa." Kata Prisa masih sesenggukan menangis.

"Gue mau beli minum. Kalo lu mau masuk ke ruangannya, masuk pelan-pelan jangan sampe ganggu dia."

Letta pergi begitu saja meninggalkan Prisa dengan rasa bersalahnya.

Bagi Letta, kematian bayinya memang menyakitkan. Tetapi itu lebih baik. Iya, itu lebih baik bagi keduanya. Meskipun setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi. Mungkinkah ia menghubungi pihak kampus, orang tua Onya atau bungkam saja dan mengikuti mau Onya.

21 Maret 2021 - 7.15 pm

Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang