Hari ketika ia mengetahui keadaan ibunya yang basah kuyup dan tak sadarkan diri di kamar mandi. Saat itu pula ia telah merasakan betapa hancur hidupnya, dan menyadari kebohongannya dalam berpura-pura kuat. Nyatanya ia tak sekokoh yang terlihat. Kehancuran itu dibiarkan semakin hancur dengan tembok kokoh yang terlihat di luar.
Miran segera dibawa ke rumah sakit dengan pertolongan para warga yang mulanya hanya menonton—khususnya ibu-ibu di lingkungannya yang menganggap sinis dan negatif sosok Letta sejak dulu. Untungnya ada bapak-bapak yang menerobos masuk ke dalam rumah dan mengetahui hal itu. Segera membantu Letta yang kesulitan mengangkat tubuh ibunya. Dan jika tidak ada mereka, Letta sudah pasti memaksakan diri untuk membawa ibunya sendiri ke rumah sakit.
"Sudah, saya saja yang bawa. Kamu keadaannya yang nggak baik-baik." Kata salah satu pria paruh baya yang sebelumnya menanyakan kunci mobil Letta.
Letta tetap pada dirinya, kembali menyakinkan dirinya baik-baik saja. Walaupun memang mereka ke rumah sakit bukan Letta yang mengendarai.
Diperjalanan menuju rumah sakit, pandangan Letta sangat kosong. Ia tidak berbicara sedikit pun, tidak menunjukkan reaksi lain setelah ia menyelimuti tubuh ibunya yang belum sempat berganti pakaian. Tidak pula ia menatap keadaan ibunya. Ia terus menatap lurus ke depan dengan tatapan yang sama. Sampai tidak menyadari sudah sampai di rumah sakit.
Ada perawat-perawat yang sigap menyediakan ranjang darurat untuk Miran. Dua pria paruh baya yang ikut dengannya, salah satu mengikuti perawat yang membawa Miran, satunya lagi bersama Letta. Menanyakan keadaan Letta tetapi tak kunjung mendapat jawaban.
"Nak, Letta?"
Letta masih bergeming.
"Ibunya udah dibawa ke IGD, nak Letta mau tunggu di sini atau ikut bapak?" kata bapak itu lagi, ia adalah RT yang sebelumnya menghubungi Letta, memberitahu keadaan ibunya.
Mendengar kata 'ibu' dan 'IGD', Letta langsung tersentak. Lamunannya buyar dan jiwanya kembali ke raganya.
"Ah, iya iya, pak. Saya mau keluar."
Letta ke luar dari mobil dengan keadaan linglung.
+++
Tidak tahu sejak kapan dan penyebabnya apa, yang Letta tahu ibunya memang punya emosi yang berbeda. Emosi yang sering berubah-ubah dengan ekstrem. Emosinya pula yang membuat Letta lebih dekat, tepatnya diurus lebih baik oleh neneknya. Sebelum akhirnya waktu membiarkan Letta merawat Miran, karena kematian neneknya.
Ia pikir, karena neneknya tak pernah membawa Miran ke rumah sakit, menganggap Miran baik-baik saja walaupun terlihat sangat tidak baik-baik saja. Tetapi kenyataan menohoknya. Ketika Miran sadar dari pingsannya, perawat dibuat terkejut. Miran berbeda dengan pasien lainnya. Tidak ingin menebak-nebak namun atas anjuran dokter, Miran disarankan untuk berpindah ke rumah sakit lain... rumah sakit jiwa.
Seminggu sudah berlalu. Rasanya masih menyesakkan. Ia bahkan lupa segalanya, yang harus ia perbuat. Yang dilakukannya hanyalah menatap rumah yang kini kosong. Pandangannya mengeliling. Rumahnya tak banyak perabotan karena keadaan Miran yang sewaktu-waktu seperti kerasukan, menghancurkan barang-barang.
Letta melangkah perlahan dari diamnya di tengah ruang keluarga tanpa rasa kekeluargaan. Langkahnya menuju kamar tempat biasa ibunya dikurung(?). Tidak ada yang berubah di kamar itu, kecuali pemiliknya yang tak lagi di sana. Letta menatap kosong, tapi satu tetes airmata disadarinya luruh, langsung diusapnya.
Ia berbalik dan keluar dari kamar, langkahnya tak tentu. Ia hanya mengikuti kakinya yang ternyata melangkah ke kamar mandi. Tempat ia menemukan Miran tak sadarkan diri. Otomatis ia mencengkeram kerah bajunya. Sesak itu kembali menghampirinya. Ia menggertakkan gigi dan terus mencengkeram pegangannya. Menahan rasa yang menyesakkan di dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Lain
General FictionLetta bukanlah mahasiswi biasa di kampusnya. Ia adalah mahasiswi 'bertarif' yang tidak diketahui teman-teman kampusnya, kecuali lelaki 'bermodal' yang bisa tutup mulut. Letta juga mahasiswi penerima beasiswa kurang mampu, tapi ia mampu beli iPhone...