Kencan ketiga...
"Aku mau masak buat kamu, sebagai permintaan maaf aku."
Kata Letta dalam sambungan telepon beberapa jam yang lalu. Dan kini keduanya sudah ada di salah satu supermarket untuk berbelanja keperluan Letta memasak. Rencananya Letta ingin membuat steik untuk makan malam, dan pizza untuk camilan sambil menonton film di TV kabel.
"Kamu seriusan mau masak?" tanya Wian memastikan, rasanya ia tidak yakin Letta bisa memasak.
Letta mengangguk, "iya." Tangannya menaruh daging sapi ke dalam troli.
Usai memilih daging sapi yang akan diolah jadi steik itu, Letta melanjutkan jalannya seraya mendorong troli yang juga didorong bersama Wian. Wian mengikutinya dengan rasa tak percaya. Sementara Letta kini sibuk dengan ponselnya yang mencatat bahan-bahan yang diperlukan. Lalu menengadah dan mencari letak bahan-bahan yang dibutuhkan selanjutnya.
"Sosis... mozzarella... mmm..." katanya mengingat-ngingat. "Di apartemen kamu ada alat-alat buat masak, kan?" Letta menoleh ke arah Wian yang belum bersuara.
"Ada sih, tapi, bukannya mau masak di apartemen kamu?" tanyanya balik. Letta menggelengkan kepala.
"Enggak. Aku kan gak punya alat-alatnya." Tak acuhnya dan kembali berjalan menuju rak mozzarella.
"Ya ampun!" Wian menepuk jidatnya. "Ini sih bisa-bisa yang masak malah aku, bukannya kamu."
Letta hanya senyum menanggapi Wian yang menunjukkan raut frustasi.
+++
"Daging sapinya udah. Bumbunya juga udah. Sayur buat garnishnya ada... mmm... terigu, pengembang roti, sosis, keju... udah." Absen Letta sambil mengeluarkan belanjaannya dan di letakkan di meja dapur apartemen Wian.
Wian yang baru ke luar dari kamar mandi usai membersihkan diri, tatapannya langsung tertuju pada Letta yang kini ada di dapurnya. Mulutnya berkomat-kamit ketika mengeluarkan belanjaan. Ekspresinya serius dengan kening yang sesekali mengkerut. Sepertinya ia sedang mengingat-ngingat tahapan memasaknya, karena kini terlihat kebingungan.
"Perlu bantuanku, nggak?" tawar Wian yang kini sudah berdiri di samping Letta. Perempuan itu sedang berkacak pinggang dengan wadah bundar, terigu, talenan, daging sapi yang ada di atas meja dapur.
"Menurut kamu, aku harus masak pizzanya dulu atau steiknya?" tanyanya.
"Pizza dulu. Adonannya kan harus didiemin dulu agak lama."
"Oh gitu ya." Letta mengangguk-ngangguk. "Kamu duduk aja sambil nonton."
Letta mendorong pelan tubuh Wian, agar lelaki itu menjauh darinya. Membiarkan ia sibuk di dapur sendiri.
"Seriusan?"
"Iya, sayang, aku kan mau masakin buat kamu."
Mau tak mau Wian pun mengikuti ucapan Letta. Ia kini hanya duduk di hadapan televisi menyala namun fokusnya terganggu, tontonan Letta memasak lebih menyenangkan. Perempuan itu sudah mengenakan celemek dan menguleni bahan untuk membuat pizza. Sesekali matanya berfokus pada layar ponsel yang memang sengaja ditaruh di meja dapur. Ia butuh arahan dari video memasak di Youtube.
Sekarang Letta diam sejenak. Ia menghentikan kegiatan menguleni adonan. Matanya tertuju pada layar ponsel, lalu menganggukkan kepala seolah sudah mengerti apa yang tadi sempat membuatnya bingung. Ia kembali menguleni adonannya.
Wian tersenyum melihat Letta di dapur. Membuat ia membayangkan jika Letta tak sekadar kekasihnya. Namun teman hidup yang tinggal bersama di apartemennya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Lain
Narrativa generaleLetta bukanlah mahasiswi biasa di kampusnya. Ia adalah mahasiswi 'bertarif' yang tidak diketahui teman-teman kampusnya, kecuali lelaki 'bermodal' yang bisa tutup mulut. Letta juga mahasiswi penerima beasiswa kurang mampu, tapi ia mampu beli iPhone...