"Maaf lancang gendong kamu." Kalimat pertama yang Wian ucap ketika keduanya sampai di parkiran dan berada di bangku mobil Wian.
Letta masih berupaya menyadarkan dirinya, walau kepalanya masih terasa pening dan tubuhnya masih terasa lemas. Ia tahu betul apa yang terjadi, hanya saja saat kejadiaan memang ia kesulitan berkutik. Entah apa yang diberikan 2 lelaki itu padanya.
"Ini coba minum dulu." Kali ini Wian menyodorkan sebotol air mineral. Letta tak langsung menerimanya, karena ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama.
"Ah!" pikirnya mulai tersadar. Ada kesalahan lain yang menyebabkan ini terjadi. Ia tak pernah membiarkan pasangan kenalannya yang mengurus tempat, tapi entah kenapa ia kali ini mengiyakannya dan ini lah yang terjadi. "Bego!" umpatnya. Ia mengabaikan keberadaan Wian dan sibuk dengan pikirannya.
"Sorry..." Wian menarik kembali uluran tangannya yang memegang botol air mineral.
"Bukan ke lu." Letta kembali menyadari keberadaan Wian, ia meraih botol air mineralnya, "kali ini gue coba percaya sama lu. Walaupun... nggak ada yang tau gimana isi pikiran lu." Letta meneguk air mineral itu berharap kesadarannya segera pulih.
Setelah meneguk setengah dari botol air mineral, Letta menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Ia menghela napas. Lalu menengadahkan kepala dan perlahan menutup matanya. Sementara Letta bersikap semaunya seolah tak ada siapapun di sampingnya, Wian yang sedari tadi tak lepas pandangan dari gerak-gerik Letta merasa takut dengan keadaan perempuan itu.
Hal yang menimpanya bukanlah hal baik. Benar, memang hal seperti itu juga adalah salah satu dari pekerjaan Letta yang tak seharusnya. Tetapi kejadian itu pasti menyisakan takut di diri Letta, sebaliknya yang ia lihat, Letta malah terlihat jaug lebih tak peduli. Ia seperti menahan semuanya.
Melihat Letta yang kini memejamkan matanya, rasanya Wian ingin memeluk tubuh itu tetapi itu tak sopan. Mengingat yang baru saja terjadi.
"Ngapain lu?" Letta menegakkan posisi duduknya, matanya terbuka dengan cepat. Dan tangannya langsung meremas bagian leher pakaiannya. Menolak ada sentuhan di area itu.
"Cuman mau selimutin kamu pake hoodie." Jawab Wian yang terkejut, ia pikir Letta tertidur sehingga dengan inisiatif menutupi tubuhnya dengan hoodie yang ia simpan di jok belakang mobil.
Letta tak merespon apapun, sebagai responnya ia hanya menatap Wian dengan tatapan tak suka. Tangannya masih di posisi yang sama. Dan di saat itulah keyakinan Wian tentang keadaan Letta yang tak baik-baik saja semakin terlihat.
"Gue pinjem hoodienya." Letta bersuara lagi, dan langsung mengenakan hoodie milik Wian.
Keputusannya untuk memakai hoodie itu karena ia menyadari keadaan pakaiannya. Keadaan pakaian yang sudah tak layak pakai dan ia merasa tak mengenakan apapun di bagian intimnya.
"Hhh! Ternyata seburuk ini keadaan gue." Sinisnya.
+++
Sudah 2 minggu pasca kejadiaan yang menimpa Letta. Beberapa hari Letta diizinkan untuk tidak hadir PKL dan hari-hari berikutnya ia kembali. Namun tak lagi sama, di tempatnya PKL Letta tak bertemu Wian. Ia telah pindah departemen.
Kalau urusan Adrial, ia tak pernah menyangkut-pautkan tugas PKLnya dengan lelaki itu, walau salah satu tujuannya ada di sini adalah karena ingin melihatnya. Iya, melihat saja. Tak ingin lelaki itu tahu keberadaannya, mengusik, atau pun hal lain. Letta ingin semua berjalan seperti ia sebelumnya. Tugasnya saat ini adalah bertahan hingga masa PKL usai.
Sore ini usai PKL, Letta mampir ke salah satu kafe. Ada seseorang yang akan bertemu dengannya. Dan kini ia masih menanti kehadirannya seseorang itu.
"Aku nggak telat, kan?" tanya lelaki itu, yang langsung menarik kursi, duduk, lalu melihat jam di tangannya. Letta menggelengkan kepala.
"Mau pesen minum apa?"
"Latte aja."
Keduanya kembali duduk berhadapan. Keduanya juga sama-sama sehabis pulang kerja. Bahkan keduanya kerja di tempat yang sama. Hanya saja tidak pulang bersama dan ini pertemuan mereka lagi setelah hari itu.
"Makasih hoodienya." Letta menyerahkan hoodie yang sempat ia pinjam. Tak langsung dikembalikan karena harus ia pakai dan cuci dulu. Selain itu, memang ada alasan lain untuk keduanya bertemu lagi.
"Sama-sama. Gimana kabar kamu?"
+++
Hari itu Wian kembali mencari Letta lagi. Ia bertemu dengan Obit, ia juga bertemu dengan orang-orang yang pernah ia temui ketika bersama Letta. Namun keduanya tak ada yang tahu, dan ada pula yang sengaja tak memberitahu. Padahal hari itu ia ingin menjelaskan semua yang terjadi. Sebuah keadaan yang dianggap kebohongan oleh Letta, tetapi Letta tak ditemui.
Hingga ia bertemu dengan Dervan dan lelaki itu memberitahu kalau Letta mengunjungi kenalannya. Wian pun langsung bergegas, terlebih ada hal aneh yang Dervan curigai, itu pula yang membuatnya memberitahu hal yang tak seharusnya. Mengingat status Wian-Letta tak ada apa-apa dan ini pun tentang pekerjaan tersembunyi Letta. Harusnya Dervan jaga mulut, namun tidak untuk malam itu.
Ketia sampai di hotel, Wian menyadari kalau ia tak tahu Letta ada di kamar mana. Ia berpikir berulang kali dan dengan nekat ia menghubungi manager hotel yang kebetulan ia kenal, ia kembali meminta tolong hal yang tak seharusnya diberikan pada pengunjung hotel. Kunci kamar hotel adalah privasi. Dengan berbagai alasan Wian pun mampu meyakinkan dan ternyata hal itu terjadi seperti yang dilihat mata kepalanya.
Amarahnya meluap, ia menyaksikan ketika Letta disentuh oleh 2 lelaki itu dan ia tak sengaja mengucap informasi yang seharusnya ia konfirmasi dulu pada Letta.
"Jadi, apa alasan lu bisa sampe tau hubungan gue sama cowok itu?" Letta menyilangkan kedua tangannya di bawah dada.
Bukan tanpa alasan. Bukan untuk basa-basi. Pertempuan mereka juga bukan untuk temu kangen. Mereka bertemu untuk sebuah alasan mengapa di keadaan ini, Wian menjadi seorang yang serba tahu.
"Sebelum aku cerita semuanya, aku pengen minta maaf tentang status aku... tentang hari itu." kata Wian ragu-ragu.
"Gue duduk di sini bukan untuk itu. Semua itu nggak ada gunanya. Gue di sini karena ingin tau kenapa lu bisa sampe mengurusi hidup gue dengan mengetahui hal yang gak ada satu pun yang tau." Tegas Letta.
"Ada satu orang yang tahu dan mencari tahu tentang kamu dan aku juga orang yang dimintai tolong untuk mencari keberadaan kamu."
"Siapa?" ia tak bersikap ragu, hingga langsung menembak dengan pertanyaan, "nggak mungkin orang itu, kan?!" senyum sinisnya mengembang. Pikirannya sampai ke sana, dan ia juga menolak jika itu yang terjadi.
"Tapi orang itu belum sampai tau kalo kamu orangnya. Aku belum kasih tau, meskipun aku sempat temui perempuan yang namanya Miran."
Tebakannya benar, ternyata Adrial mencari tahu tentang keberadaannya. Dan Miran? Kenapa Wian bisa sampai bertemu dengan ibunya?
"Mungkin pak Adrial bakalan tau kamu dari mulut Luan."
Letta sudah mulai terbawa emosi kesal, tetapi ia menahan diri. Ia harus mendengarkan hingga cerita itu selesai.
"Aku nggak berniat untuk bilang semua itu ke Luan. Nggak sama sekali. Aku benar-benar keceplosan karena tindakan dia ke kamu hari itu."
Wian mengulang kembali memori yang tak ingin diingat Letta. Letta kembali menyentuh bagian leher pakaiannya. Meremasnya.
Ia pikir hari ini ia telah baik-baik saja.
Nyatanya tidak.
"Lanjut ceritanya dan nggak usah bawa-bawa hari itu. Gue di sini bukan untuk itu." Letta memejamkan matanya berusaha menenangkan diri, dan kembali siap mendengar alasan Wian tahu tentang status Letta.
21 Maret 2021 - 7.48 pm
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Lain
Ficção GeralLetta bukanlah mahasiswi biasa di kampusnya. Ia adalah mahasiswi 'bertarif' yang tidak diketahui teman-teman kampusnya, kecuali lelaki 'bermodal' yang bisa tutup mulut. Letta juga mahasiswi penerima beasiswa kurang mampu, tapi ia mampu beli iPhone...