hai hai maaf buat yang udah nunggu lanjutannya. gue baru bisa upload lagi lanjutannya.
selamat membaca :)
Letta bangun dari tidurnya diiringi erangan pelan, pertanda kepalanya nyeri sehabis banyak menelan alkohol. Sayangnya ia pun tidak ingat berapa banyak ia menelan alkohol itu sampai-sampai ia bangun di tempat asing. Matanya mengerjap perlahan menyesuaikan diri dengan sekitar, tubuhnya ikut bangun. Perlahan salah satu tangannya menyingkap selimut berwarna abu tua, pakaiannya semalam masih nampak utuh. Lalu ia memposisikan dirinya duduk menyamping dengan posisi kaki mengayun di samping ranjang.
Matanya mulai menatap ke seluruh. Ruangan yang dilihatnya sangat sederhana dengan dominan warna putih, ada beberapa barang yang berwarna abu tua dan hitam. Namun yang dilihatnya nampak rapih dan bersih. Pikirnya menerka-nerka ruangan yang ia pikir bagian dari apartemen, bukan sebuah rumah. Sampai kemudian tatapan matanya menatap ke arah pakaian yang terlipat di atas meja samping ranjang.
"Buat gue?!" kata Letta mempertanyakan karena bimbang.
CEKLEK!
Fokusnya seketika berganti, dari pakaian menuju arah pintu kamar mandi yang terbuka. Letta menemukan sosok itu. Lelaki yang sangat dihindarinya.
Lelaki itu berjalan mendekat seraya entah sadar atau tidak, ia menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk kecil. Sedangkan pakaian yang dikenakannya hanya t-shirt longgar berwarna kuning gelap yang pucat serta celana pendek seperti celana basket.
"Itu bajunya aku siapin, kalau kalau kamu mau mandi dan mau ganti baju." Kata Wian dan memamerkan senyumnya. "Lagipula nggak nyaman lama-lama pake baju itu." Matanya mengarah pada pakaian Letta saat ini.
Letta langsung bergegas dari duduknya menuju kamar mandi. Mencoba menghiraukan sosok Wian.
+++
Kalau dipikir-pikir, Letta aneh dengan sikapnya saat ini. Ia tadi malah bergegas ke kamar mandi dan membersihkan dirinya, alih-alih ia menyegerakan diri untuk pergi dari tempat asing. Dan kini ia malah sedang menikmati santap pagi yang dibuat Wian, sarapan yang katanya ala kadarnya karena hanya sup bening berisi taoge dan telur, minumnya lemon madu hangat.
"Sebelum pulang, habisin dulu sarapannya. Lagian kamu pasti masih sedikit pusing." Papar Wian seolah seorang lelaki pada kekasihnya.
Letta menyeruput perlahan kuahnya, yang rasanya tidak wah dan cukup bisa dinikmati tanpa penolakan di perutnya. Matanya mengarah pada Wian yang sejak tadi sudah selesai dengan sarapannya. Ia hanya sedang menyesap kopi hitam yang dibuatnya langsung karena memiliki penggilingan kopi sendiri.
Meja makan panjang di apartemen Wian di tata mengarah pada pemandangan luar jendela. Gedung-gedung tinggi dan beberapa bangunan lebih pendek di sekitarnya. Keduanya duduk berdampingan seraya sesekali menikmati pemandangan pagi.
"Gue nggak ngerti kenapa bisa sampai di sini." Kata Letta tiba-tiba.
Wian menoleh sejenak. "Makan aja dulu, nanti aku ceritain."
Hening kembali menyambut mereka.
"Kenapa lu terus ngehubungi gue padahal jelas-jelas gue tolak?" tanya Letta yang tak mau bertanya-tanya dengan pikirannya saja.
"Karena ada yang harus diperjuangkan." Letta tidak mengerti, ia geleng-geleng kepala sementara Wian bersikap santai.
"Kita kenal bukan untuk hubungan pribadi." Letta kembali mengingatkan pertemuan mereka untuk apa.
"Iya tau, tapi apa salahnya untuk saling mengenal?"
"Salah banget. Itu bukan bagian dari pekerjaan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Lain
General FictionLetta bukanlah mahasiswi biasa di kampusnya. Ia adalah mahasiswi 'bertarif' yang tidak diketahui teman-teman kampusnya, kecuali lelaki 'bermodal' yang bisa tutup mulut. Letta juga mahasiswi penerima beasiswa kurang mampu, tapi ia mampu beli iPhone...