II - Janji

194 45 7
                                    

Air mata ini bukan sekadar hiasan.

Mereka hadir untuk menyembunyikan kebenaran.

Seperti biasa aku datang ke kantin bersama Eria

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti biasa aku datang ke kantin bersama Eria. Gadis berambut sebahu itu merangkul dan menarikku dengan tidak sabaran menuju warung kesukaannya. Meski jarum pendek belum tepat di pukul dua belas siang, namun Eria sudah mengambil start duluan sebab dia tidak mau makan di saat jam sibuk.

Dia tidak mau sampai harus mengantri lama dan makan dengan terburu-buru karena selepas jam istirahat dia akan mengajar di kelas berisi seratus orang. Dia harus mempersiapkan energi untuk mengecoh seputar materinya yang panjang bagai kenangan. Belum lagi menghadapi mahasiswa mucil yang bisa kapan saja mencari gara-gara.

Sahabatku yang satu ini sering tidak sarapan di rumah. Aku tidak tahu alasan jelasnya, namun Eria selalu mengeluh akan mamanya suka lupa masak atau ayahnya yang hanya memberi uang jajan lebih untuk sarapan di sekolah. Yup, Eria masih diperlakukan seperti anak-anak. Kurang lebih seperti diriku. Apa karena kami anak gadis yang masih tinggal dengan orang tua? Jadi perlakuan mereka hampir sama?

Intinya, kedua orang tua Eria tidak pernah membayangkan seberapa banyaknya putri mereka akan makan di jam istirahat plus cemilan sebagai penutup. Porsinya sudah menyamai para mukbangers. Terlepas dari itu, aku menemaninya menyantap hidangan dengan bekal buatan ibuku.

Aku sempat memberinya saran membuat bekal, tapi aku mengundurkan niat tersebut karena kebiasaannya maraton drakor tiap malam. Dapat dipastikan dia pasti akan kebablasan dan bangun kesiangan. Minggu ini saja sudah dua kali Eria ditegur dosen senior karena telat absen.

Ruang kantin masih sepi dan lenggang, membuat Eria tersenyum lebar dan berlari kecil, memesan makanan andalannya. Sementara aku berjalan ke salah satu meja yang tidak jauh dari dapur kantin. Aroma cabe yang baru selesai dimasak meruak ke mana-mana sampai aku sempat beberapa kali bersin dibuatnya.

Sebenarnya aku ingin berpindah tempat, tapi Eria keburu mendatangi mejaku sambil membawa mangkuk berisi satu bakso raksasa di tengahnya. Karena dia keburu meracik makannya dengan berbagai bumbu pelengkap, kurungkan niatku tadi. Aku tidak bisa menggangu Eria yang sudah nyaman di tempatnya.

"Kamu suka sekali makan bakso," komentarku memandang makanan super jumbo milik Eria. Bagaimana tidak 'super' dan 'jumbo', satu mangkuk berisi satu bakso beranak sebesar kepalan tangan. Saat dibelah, ada sekitar delapan biji bakso kecil. Komplit dengan mie kuning dan putih, plus telur satu biji.

"Bakso di sini beda sama di luar. Lebih murah dan lebih banyak dagingnya." Eria menyelipkan poninya ke belakang telinga. Menyuap sesendok kuah panas yang menggoda selera.

Itulah kelebihan makan di kantin fakultas kami. Penanggung jawab kantin di sini tidak sembarangan membiarkan orang menjual dagangannya. Biasannya orang yang bekerja di kantin ini adalah keluarga dari dosen atau tenaga pendidik di kampus ini, atau orang yang dipercayai para petinggi. Jadi makanan di sini terjamin gizi dan kebersihannya. Selain itu, mereka mematok harga sesuai dengan kantong mahasiswa--walau bagi beberapa orang harganya masih cukup mahal. Contohnya saja bakso beranak yang dimakan Eria seharga 15 rb. Cukup mahal, tapi kalau di luar bisa dua kali lipatnya karena kualitas dangingnya tidak perlu diragukan lagi.

Hipnosis KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang