III - Tembak

85 20 1
                                    

Semakin lama, semakin menumpuk.

Semuanya mengalir, menyatu, menjadi genangan dendam.

Sontak jantungku berdetak kencang ketika mendengar suara bass di belakang pundakku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sontak jantungku berdetak kencang ketika mendengar suara bass di belakang pundakku. Saat berbalik, aku bisa melihat Pak Rio sedang menunduk tepat di belakang kami. Dia ikut melihat ke arah kelompok elit yang sudah duduk di singgah sananya.

"Bapak ... jangan suka muncul tiba-tiba," keluh Eria memelas sambil mengelus dadanya.

"Kalian saja yang terlalu serius memata-matai orang lain. Jangan-jangan di sana ada cowok yang kalian sukai?" tanya Pak Rio sembari tersenyum miring.

Aku mengangkat bahu dan menghela napas panjang. "Eria suka Peter, Pak."

"Hei!" Eria menyikut dan membuatku tertawa geli.

"Hoooo ... gitu, ya. Apa karena Peter anak rajin? Atau karena cakep? Padahal lebih cakepan Bapak, deh."

"Ish ... Bapak lebay."

"Ngomong-ngomong janji ... kayaknya ada yang lupa."

Alisku terangkat mendengar ujaran Pak Rio. "Bapak dari tadi nguping, ya?"

Bukannya ikut curiga, Eria malah tersentak sembari menepuk dahinya. "Ah! Hari ini, ya, Pak?"

"Tuh, kan. Betulan ada yang lupa." Pak Rio berkacak pinggang.

Eria menggaruk kepala dengan malu dan Pak Rio menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap partner penelitiannya yang bandel ini.

"Oh ya, Rinda." Tatapan Pak Rio beralih ke diriku. "Ibumu meneleponku tentang kegiatan kita nanti. Titip salam untuknya, ya. Aku pasti akan menjagamu, kok," ujarnya sembari tertawa terbahak-bahak.

Pak Rio adalah dosen senior yang amat supel sampai-sampai aku kadang malu cuman berada di dekatnya. Meski cukup berumur, tapi sikapnya sama sekali tidak menggambarkan usianya.

Bermula dari sebuah kejadian yang tak terduga yang pada akhirnya membuat beliau bisa mengenal ibuku.

Istri Pak Rio sering membeli kue basah di warung yang tidak jauh dari rumahku. Berhubung Ibu memiliki bakat bakery yang sayang untuk disia-siakan, Ibu sering menitip beberapa kue buatannya di warung tersebut. Lidah istri Pak Rio ternyata cocok dengan kue buatan Ibu sehingga dia mencari tahu siapa pembuatnya dan menjadi pelanggan tetap Ibu ketika dia membutuhkan kudapan manis untuk acaranya.

Aku masih ingat detik-detik pertemuan itu. Pak Rio datang ke rumah berniat untuk mengambil pesanan dan betapa kagetnya kami berdua ketika akulah yang melayaninya pada hari itu.

Terkadang dunia terasa amat sempit.

Hanya saja dampaknya cukup membuatku kurang nyaman di tempat kerja karena Pak Rio selalu dibebankan tanggung jawab oleh Ibu. Meski aku sudah berkali-kali meminta Ibu untuk berhenti merepotkan Pak Rio, tapi dia tetap saja mengulanginya lagi.

Hipnosis KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang