Aku tersesat di dunia yang penuh kebohongan yang tak berharga.
Akan kutinggalkan hari esok dan terus menari dalam mimpi.
Kami pergi dari pagi buta.
Keluar dari kota yang rendah dan sempit, menuju dataran yang lebih tinggi, menuju jalan yang lebih lebar, dan langit yang lebih luas.
Aku tidak menyangka akan kembali menghirup aroma daun yang basah akibat embun pagi yang dingin nan sejuk. Merasakan kehangatan mentari terbit yang menyentuh kulit dengan lembut. Ditambah pohon-pohon rindang yang disulap menjadi payung alami di bahu jalan, membuat berkas-berkas cahaya yang berkilauan, seperti lampu sorot yang mengantarkan diriku ke sebuah vila yang tersembunyi di labirin hutan yang dalam.
Nuansa yang amat berbeda ketika berada dalam kota, di mana semuanya terasa serba cepat. Sesaat kamu membuka mata, di mana kamu masih ingin berleha-leha di atas kasur, pekerjaan ataupun kewajiban telah menyapamu lebih dulu. Terombang-ambing dalam masalah yang melelahkan dan tak ada hentinya.
Kamu ingin bisa menyelesaikan satu hari tanpa ada senggol bacok dengan pihak manapun. Bagaikan menumpulkan segala indera demi fokus dalam satu titik, melupakan segala hal kecil namun berarti di sekitar kita. Alam yang sedari tadi terus mengawasi tanpa meminta balasan, perlahan menghilang dan digantikan dengan benda mati yang menguasai tanah dan membubung tinggi ke angkasa.
Inilah alasan utama mengapa aku bersikeras ingin bergabung dalam kegiatan family gathering ini. Kami, para budak kampus, bisa membuka segala belenggu yang terus-menerus melekat setiap harinya. Mendengar suara alam yang harmonis, menghirup aroma kehidupan, merasakan angin yang terus mencoba memeluk dan menuntun kita pada kesyukuran tiada batas.
Untuk sejenak, aku bisa tenang. Menikmati keindahan yang terus kulukis dalam ingatan.
Saat aku mendongak ke atas, melihat barisan gunung yang tertutupi kepulan awan putih pekat, aku larut dalam kenangan yang sudah lama tidak tersentuh lagi. Kenangan tentang aku bersama Ayah dan Ibu pergi berkemah di dekat danau yang airnya seperti laut jernih nan tenang, di kelilingi barisan gunung yang tinggi. Ibu selalu menyebutnya Danau Lazulu--walau itu bukan nama danau yang sebenarnya--namun aku lebih suka nama pemberian Ibu.
Lebih menarik.
Ibu memasakkan makanan di atas api unggun. Ayah mengajakku mengambil air di danau menggunakan balon karet yang super elastis. Sesudah makan malam, kami bernyanyi di bawah langit hitam tak terbatas yang dipenuhi ratusan bintang yang berkelap-kelip. Lalu dibuat tertawa terpingkal-pingkal ketika Ibu menceritakan aib Ayah semasa SMA sesaat kami melihat bintang sebagai butiran ketombe. Dan tidak sadar sudah terlelap di dalam dekapan mereka.
Aku selalu berdoa sebelum tidur, berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang panjang. Terbangun di dalam tenda, dan ketika aku keluar, Ayah dan Ibu masih saling membutuhkan satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipnosis Kematian
Horror[UPDATE SETIAP HARI] Rinda tidak pernah menyangka bahwa bunuh diri massal yang terjadi di fakultas tempat dia mengajar telah membuat semua orang berbalik membenci dirinya. Hidup Rinda yang setiap hari dipenuhi aura positif, dengan cepat berubah menj...