XIV - Gelap

114 36 4
                                    

Saat malam semakin dekat, perasaan ini semakin kosong.

Kegelapan mulai menyelimutiku.

Dan aku terus jatuh seperti ini.

Sedari awal, datang ke sini adalah keputusan yang buruk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedari awal, datang ke sini adalah keputusan yang buruk.

Kampus di malam hari terasa sangat berbeda. Seakan kami sedang berada di dunia lain. Sunyi dan gelap. Banyak tempat persembunyian bagi para penghuni malam.

Tidak ada seorang pun yang terlihat di gedung fakultas Biologi pada malam hari. Hanya ada aku dan Eria, berdua di pinggir jalan, menunggu satpam yang berjanji menemani kami untuk mencari dompet Eria yang tertinggal. Jejak cahaya lampu kendaraan berlalu-lalalng di hadapan kami. Bayangan kuning, kela-kelip cahaya merah lampu rem, serta warna putih lampu depan yang menembus bayangan gedung-gedung. Pantulan lampu-lampu jalanan mengalir bagaikan air di atas kaca mobil yang sedang melaju.

Gedung Fakultas Biologi berada di deretan belakang kampus, memiliki empat lantai memanjang ke belakang. Di lantai satu ada lobi dengan barisan ruangan para petinggi, lantai dua ditempati para dosen, lantai tiga ruang kuliah, dan lantai lima dihuni berbagai jenis laboratorium.

Selain itu ada kafe di pekarangan fakultas yang sering direpotkan dengan banyaknya mahasiswa yang ingin menongkrong untuk sekadar mendapatkan jaringan internet gratis. Namun hiruk-pikuk itu tak bersisa di malam hari. Kursi-kursi yang kosong terasa mengerikan di bawah pohon beringin yang lebat.

Satpam yang dihubungi oleh Eria datang menghampiri kami dari seberang jalan. Baju dinasnya masih rapi tanpa kusutan dengan sepatu boots yang mengkilap. Namun wajahnya tidak selaras dengan penampilannya. Ada butiran keringat sebesar biji jagung di keningnya.

"Maaf, mungkin saya tidak bisa menemani Anda berdua di dalam. Sepertinya saya salah makan tadi sore. Jadi, saya akan menunggu di pos keamanan. Kalau ada apa-apa, silakan segera menelepon saya," jelasnya dengan nada suara bersalah.

"Beneran, Pak? Bapak percaya kami masuk begitu saja?" tanya Eria khawatir.

"Iya, saya percaya. Kalau pun ada barang yang hilang atau rusak, saya pasti akan mendatangi Anda berdua. Tapi semoga tidak terjadi apa-apa. Kalau begitu, saya permisi dulu." Satpam itu meninggalkan kami tanpa menoleh sedikit pun.

Eria menunjukkan ekspresi sebal. "Bisa-bisanya dia malah lebih peduli dengan barang dibandingkan keselamatan kita berdua. Kalau kita yang kenapa-kenapa, dia mau tanggung jawab?"

"Sudah, sudah, Eria. Toh kita cuman masuk sebentar. Mengambil dompetmu yang tertinggal di ruangan Pak Alvi. Oh ya, kamu sudah menghubungi Bapak, kan?"

"Sudah, tapi ... cuman centang satu. Aku mencoba meneleponnya tapi tidak tersambung."

Aku mengerutkan kening sembari melipat kedua tangan di dada. "Eria ... kamu beneran mau masuk? Sekarang? Tanpa seizin yang punya ruangan?"

"Habis ... kalau tidak diambil sekarang, aku bakalan kepikiran sepanjang malam. Besok ada rapat, loh. Aku tidak mau terlihat menguap terus di depan para senior. Nanti aku bisa kena batunya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hipnosis KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang