XI - Mengeluh

102 33 1
                                    

Melangkah ke pagi yang membosankan.

Berharap untuk kedamaian untuk diri sendiri dan orang tersayang.

Ini mungkin sulit, jadi aku menyalakan hatiku.

Tidak ada yang akan menjatuhkanku, ketakutan hanyalah ilusi.

Tidak jauh dari fakultas Biologi, sekitar 5 menit dengan berjalan kaki, terdapat sebuah swalayan yang buka hingga larut malam bernama Clarius Jaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak jauh dari fakultas Biologi, sekitar 5 menit dengan berjalan kaki, terdapat sebuah swalayan yang buka hingga larut malam bernama Clarius Jaya. Swalayan yang diberdiri atas bantuan dari koperasi universitas agar para mahasiswa maupun mahasiswi yang tinggal di sekitar kampus tidak kerepotan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Letaknya berada di dekat pintu keluar kampus, tepat di tengah kebun tanaman obat, sehingga toko itu terlihat paling mencolok dengan gedung berwarna kuningnya. Orang-orang biasanya datang ke sana membawa motor atau berjalan kaki sambil menyelesaikan belanjaan mereka dengan suasana bersahabat antara pelanggan dan staff yang sedang bekerja di sana, kemudian pulang dengan wajah yang puas.

Aku biasanya datang ke sini untuk sekadar membeli cemilan dan minuman manis. Kebiasaanku yang mengonsumsi manis-manisan selama bekerja bukan cuman karena ingin, namun glukosa yang dihasilkan dari makanan tersebut sering mempermudah diriku untuk fokus selama bekerja. Hanya saja, hari ini jumlah belanjaanku tidak biasanya.

Peringatan yang diberikan Pak Peter kepadaku tadi mengganggu pikiranku. Tiap kata, nada suara, dan ekspresinya tadi masih mengiang di dalam kepala. Aura negatif itu menyerap ke dalam sel-sel memori sampai aku muak mengingatnya.

Ditambah dengan tabiat Pak Alvi yang semakin hari semakin menyusahkan, membuatku lelah secara fisik dan batin. Beberapa hari ini aku jadi mudah tertidur di ruang dosen dan kadang lupa menyiapkan bahan ajar. Energiku terkuras entah ke mana.

"Rinda, kamu tidak apa-apa?" Seperti biasa, orang pertama yang menyadari perubahanku adalah Eria.

Dia tadi membuntuti di belakangku. Seakan dia bertanggung jawab atas kondisiku sekarang. Bersiap jika aku akan tumbang kapan saja. Padahal aku sudah mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Tapi dia bersikukuh menemaniku berbelanja.

"Aman, Eri. Ada yang mau kamu beli?"

"Tidak juga, sih."

"Kalau begitu, kenapa ikut?"

"Tidak apa-apa, kan? Sekalian olahraga juga, terlalu banyak duduk di ruangan juga tidak baik untuk tulang," kata Eri sambil memainkan ujung rambutnya.

Kusempatkan untuk tersenyum. Walau itu adalah tindakan yang sia-sia. Mata lelahku kentara seperti jerawat yang sedang tumbuh di atas dahi. "Baiklah. Aku mau pergi membayar. Tunggulah di bangku depan."

Eria menggelengkan kepalanya. "Aku akan pergi ke manapun kamu berada."

"Meski itu tempat yang kamu tidak suka?"

"Ya. Jangan meragukan diriku."

"Meski aku pergi menonton film horor?"

"Jangan juga itu, dong! Rinda ... aku nangis, loh."

Hipnosis KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang