Aku ditipu oleh suara-suara yang tidak bisa kudengar.
Maaf, lain kali aku akan lebih baik lagi.
Maaf, lain kali aku akan menjadi manusia yang sesungguhnya.
Telingaku berdengung seolah ada gelombang suara yang membelah udara. Frekuensi yang amat tinggi, mengingatkanku pada suara bor besar yang berusaha melubangi besi yang tebal. Aku tuli dalam beberapa detik. Begitu sakit hingga otakku terasa berguncang di dalam tempurung kepala.
Aku mencengkram kedua daun telinga kuat-kuat. Tapi tindakan itu tidak memberi efek yang berarti. Dan ketika suara itu perlahan menjauh, terdengar benturan yang keras. Aku melihat teman-temanku pingsan satu per satu. Bagaikan domino yang jatuh akibat satu sentuhan lembut.
Berkali-kali aku mengerjapkan mata, seolah semua ini hanya ilusi semata. Namun yang terlihat sekarang adalah semua orang sudah terkulai lemas. Ada yang bersandar di kursi layaknya penumpang bus yang kelelahan. Ada yang terjungkal ke depan yang untungnya di tahan dengan sandaran kursi di depannya sehingga dia tidak jatuh bebas ke lantai. Ada pula yang bersandar di bahu temannya.
Seketika aku tenggelam dalam kegelapan. Tidak bisa merasakan daratan. Tidak bisa mendengar apa-apa. Tidak bisa menghirup bau apapun. Seolah aku sedang mati suri. Semua inderaku tumpul.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Loh? Masih ada yang bangun?"
Secepat kilat aku menoleh, seperti seekor kelinci yang merasakan bahaya mulai mendekat. Pak Alvi yang tadinya ada di atas panggung, menuruni tangga, dan berjalan santai ke bangkuku. Tubuhku menggigil hebat. Saking gugupnya, aku ingin buang air kecil.
Aku sudah tidak tahan lagi.
Aku berlari, menghindari tangan Pak Alvi yang mencoba menangkapku, lalu mendorong pintu toilet sampai hampir terpeleset karena kakiku yang lemas. Pintu kubanting keras dan segera menurunkan celana lepis hitamku sebelum terlambat. Suara air pancuran bergema di dalam kubikel. Bukannya merasa tenang, aku mencengkram perut. Mual. Sensasi ini mirip ketika aku naik pesawat untuk pertama kalinya. Jetleg yang menjengkelkan.
Pintu yang berada di hadapanku bergetar lembut. Seseorang mengetuknya.
"Kamu baik-baik saja, Rinda?"
Aku menelan ludah. Terasa tenggorokanku kering seperti jam pasir yang turun ke bawah. Mataku berair. Bukan menangis, tapi air mata terus membendungi pengelihatanku. Awan yang pekat bergantungan di sekitarnya. Sesak.
Pintu diketuk kembali, sekarang lebih ringan. "Rinda, kalau kamu ingin tidak mengikuti acara ini sampai selesai, boleh, kok. Jadi, ayo, keluarlah."
Suara Pak Alvi terdengar seperti rayuan seorang pangeran berkuda yang mencoba meyakinkan putri kerajaan yang takut akan hutan gelap. Setelah menyelesaikan urusanku di dalam, aku membuka pintu dan bisa melihat senyuman tipis di wajah Pak Alvi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipnosis Kematian
Horror[UPDATE SETIAP HARI] Rinda tidak pernah menyangka bahwa bunuh diri massal yang terjadi di fakultas tempat dia mengajar telah membuat semua orang berbalik membenci dirinya. Hidup Rinda yang setiap hari dipenuhi aura positif, dengan cepat berubah menj...