VI - Keluh

131 35 2
                                    

Tak ada yang bisa diterima, sebab aku takkan pernah bisa berubah.

Dan kau takkan pernah bisa mengerti penderitaanku.

Dan kau takkan pernah bisa mengerti penderitaanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengeluh tidak akan mengubah apapun. Itu benar. Namun, untuk kali ini saja, beri aku kesempatan untuk berkeluh kesah.

Sebenarnya jadwal hari ini berjalan dengan lancar. Hanya ada beberapa bagian yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi hari ini.

Pagi hari, kami habiskan untuk berjalan-jalan melintasi alam, sesekali berpapasan dengan penduduk sekitar yang ramah, dan berkesempatan bertemu dengan gerombolan monyet merah di lereng yang landai.

Sayangnya momen langka itu seketika terganggu sesaat Pak Alvi menarikku ikut bersamanya ke sebuah gua sakral yang konon menjadi tempat peristirahatan terakhir sepasang kekasih yang kabur dari penjara saat Belanda menjajah Indonesia. Dia memperlakukanku seolah kami sudah menjadi teman dekat. Parahnya lagi disaksikan secara langsung oleh rekan-rekan kerja dan para petinggi. Sepanjang jalan aku hanya merunduk malu dan tidak berani melihat sekitarku.

Siangnya kami habiskan dengan berlari melintasi hutan hingga menemukan air terjun mini yang mempesona nan jernih. Kami segera menyemplungkan diri ke sungai, tidak peduli dengan kaos dan celana training yang kami kenakan menjadi semakin berat terendam air. Semua orang menikmatinya. Suara tawa dan senyuman selalu muncul tiap menitnya.

Tapi kedamaian itu segera berakhir ketika Pak Alvi mulai menunjukkan kebolehannya melompat indah dari tebing. Semua mata tertuju pada tubuhnya yang dia pamerkan dengan penuh kebanggaan, yang serupa dengan roti sobek putih nan montok sebelum dicelup ke dalam segelas cokelat panas. Tatapan mata kami sempat bertemu dan spontan dia melambaikan tangan kepadaku. Untungnya aku sedang berada di tengah-tengah kerumunan fansnya, jadi mereka bisa mewakilkan diriku.

Aku kira liburan kali ini dapat melepaskan penatku sejenak. Namun nyatanya malah beban pikiran yang kudapatkan. Setiap kali Pak Alvi muncul, seketika energi kehidupanku terkuras sangat banyak.

Untung saja ada jeda selepas kegiatan di air terjun. Kami diberi kebebasan untuk beristirahat sebelum kegiatan malam dilaksanakan.

Sesampainya di vila, kami pun bisa melakukan hal sesuka hati. Ada ruang tamu yang luas, ruang hiburan dengan berbagai macam permainan tradisional hingga moderen, perpustakaan dengan koleksi buku lengkap dan langka, lalu ruang makan yang luas. Persediaan makanan di sini juga melebihi cukup untuk empat puluh orang, termasuk pembantu, tukang masak, dan petugas keamanan yang bekerja di vila ini.

Sambil merasakan angin sepoi-sepoi yang begitu kontras dengan panasnya udara siang, aku seakan terisap oleh pendar cahaya yang mengambang di udara, menembus dari jendela dan pintu geser di balkon kamarku bersama Eria. Perlahan aku mencium bau sedap, kombinasi dari bau bawang putih serta kotak berbagai macam bumbu dapur.

Karena aku tidak ingin berada di kamar terlalu lama, akhirnya aku memilih pergi ke dapur membantu dua bibi yang sedang mempersiapkan jamuan makan malam nanti. Sesaat aku menawarkan bantuan, betapa bahagianya mereka mendengarnya. Tentu saja hal itu membuatku ikut senang. Salah satu ajaran Ayah ketika bertamu di rumah orang; setidaknya kita membantu pekerjaan mereka meskipun sedikit.

Hipnosis KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang