🐊Simulasi Menantu

5.4K 766 79
                                    


SHANUM

"KANG ABAS!"

Bukan namaku yang dipanggil, tapi suara keras itu berhasil membuyarkan konsentrasiku yang sedang setoran sama abah.

"Ayo ulangi ayat terakhir!" titah abah dengan nada setengah menegur.

Aku memejamkan mata dan mencoba membayangkan ayat-ayat setoran pagi ini. Santri baru itu benar-benar harus ditakzir, berani-beraninya mengacaukan konsentrasiku.

Alhamdulillah setelah sempat tersendat, aku berhasil menyelesaikan seperempt juz. Abah tidak komentar apapun hanya berpesan aku jangan sampai melalaikan murojaah, beliau langsung berdiri meninggalkan aku.

Pagi ini lumayan cerah, tambah cerah lagi karena di dapur sudah ada dua iparku yang cantik-cantik sedang berkutat dengan bahan dapur agar menjadi makanan enak.

"Yah, gasnya habis." keluh Fadila ketika tiba-tiba api kompornya mati. "Minta tolong panggilin Mas Haris dong!" imbuhnya lagi saat mengarah padaku.

"Biar aku saja, Dil."

Karena tadi aku lihat Mas Haris dan Mas Nadim sedang sama-sama sibuk, aku putuskan untuk mengganti gasnya sendiri. Di keluargaku memang tidak ada asisten rumah tangga, umi dan abah sejak dulu membiasakan anak-anaknya untuk melakukan apapun sendiri selama masih mampu. Paling kalau emang sibuk banget sedang ada acara atau banyak tamu baru meminta bantuan santri.

"Yakin Shanum? Berat lho ini." tanya Fadila lagi dengan lembutnya. Dua iparku ini memang terkenal sekali dengan kelembutannya.

Kalau Mas Nadim dan Mbak Yas itu adalah definisi jodoh adalah cerminan karena sama-sama kalem, kalau Mas Haris dan Fadila ini definisi lain dari jodoh. Pernah dengar kalau jodoh itu juga bisa jadi ujian? Nah itu cocok untuk mendefinisikan Mas Haris dan Fadila, keduanya bertolak belakang banget. Fadila bagai mendapat cobaan banget bisa nikah sama kembaranku.

"Coba dulu ya, seharusnya sih bisa, Dil!"

Fadila membantuku menggeser tabung gas 5kg yang sudah sengaja disiapkan untuk stok dan dengan hati-hati aku memasangkan regulatornya, dan alhamdulillah berhasil.

Dari dapur aku bergeser ke samping rumah, berencana ingin menyapa abah yang sedang memberi makan ayam-ayamnya, beliau sambil menggendong Ahsin, anak Mas Nadim sekaligus cucu pertama abah.

Aku mundur lagi dan balik arah mengurungkan niat untuk menemui abah karena ternyata bukan hanya ada abah dan ahsin di sana, melainkan ada santri baru itu juga.

"Abah udah dipanggil? Tehnya udah siap." Mbak Yas bertanya sembari menyiapkan teh pagi untuk abah, tadi memang aku berencana memanggil abah dan mengambil alih Ahsin agar abah bisa menikmati teh.

Aku hanya mampu menggeleng dan nyengir lebar yang justru mengundang curiga dari Mbak Yas, apesnya lagi Mas Haris sudah selesai nyuci mobil dan kini sudah beralih ke dapur.

Sekarang lengkap sudah dua saudara dan iparku di dapur. Sebisa mungkin aku bersikap biasa agar tidak memancing reaksi Mas Haris.

"Kamu kenapa? Abah mana?" tanya Mas Nadim yang heran denganku karena tiba-tiba diam.

"Masih di samping," jawabku tanpa menghilangkan tampang datar dari wajah.

Aku udah was-was banget melihat Mas Haris yang hanya diam saja tapi senyumnya mencurigakan, aku nggak yakin dia nggak punya rencana.

"Mbak aku siap-siap dulu ya," pamit ku pada Mbak Yas. Daripada dikerjain sama Haris mending aku ke kamar untuk siap-siap ke sekolah.

Sesuai dugaanku, nggak mungkin banget Mas Haris itu anteng. Buktinya sekarang dia sudah menahan tanganku dan sedikit menariknya sampai aku terduduk di sampingnya.

9. Master JenggalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang