Nathan mempercepat langkahnya begitu melihat Lira yang dari jarak 100 meter tak tampak seperti biasanya. Batinnya jadi sedikit merasa bersalah karena membiarkan Lira pergi sendiri.
"LI!" panggil Nathan dan Lira berusaha menormalkan raut wajahnya. Namun, Nathan tak semudah itu dikelabuhi.
"Li, kenapa lo ngos-ngosan gini?" tanyanya khawatir sambil merapikan rambut Lira yang sedikit menutupi wajahnya.
"H-hm takut ketinggalan kereta, Nat."
Nathan mengernyit. Kemudian, ia menjatuhkan pandangannya ke arah tangan Lira yang memegang kantung kresek sambil bergetar itu.
"Kenapa tangan lo gemetar gini?" tanya Nathan menatap manik mata Lira yang berusaha menghindari tatapannya.
"Gue nggak apa-apa, Nat. Udah yuk kita pulang, keretanya udah dateng." Lira bersyukur dalam hati. Untung kereta datang tepat pada waktunya.
"Nat, gue digerbong wanita ya?"
"Tumben?"
"Lagi pengin aja. Boleh, ya?"
Nathan kembali menyatukan alisnya. Namun, akhirnya mengiyakan. "Ok."
"Thanks."
Mereka pun masuk ke gerbongnya masing-masing. Lira yang tidak mendapat tempat duduk memilih berdiri di dekat pintu.
Ia merenung menatap jendela yang melewati rumah ke rumah. Lira berpikir apakah dirinya bisa berjalan dan berhenti seperti kereta tanpa takut menimbulkan kebisingan. Ya Tuhan, kenapa dunia begitu sempit? Kenapa harus bertemu lagi? Tanpa sadar setetes air mata membasahi pipinya.
Sedangkan, Nathan yang berada di gerbong sebelah terus menatap ke arah gerbong wanita, memastikan sahabatnya itu baik-baik saja.
Nathan mengantar Lira sampai di depan rumahnya. Masih dengan keheningan di antara keduanya—Lira tersenyum tersirat menatap Nathan.
"Thank you, Nat."
Nathan mengangguk. Ia masih menatap wajah pias Lira. "Li, lo baik-baik aja?"
"Hm, sedikit nggak baik. Tapi, gue seneng lo mau ngomong sama gue," Lira tersenyum sendu, "but, it's okay."
"Sorry, Li, gue belum bisa cerita semuanya. Terlalu memalukan untuk diceritain."
Lira mengangguk paham sambil menggenggam kedua tangan Nathan.
"Nggak apa-apa. Gue masuk duluan ya.""Li!"
"Hm?"
"Maafin gue."
"Lo nggak salah apa-apa, Nat. Itu hak lo untuk tetap diam atau mau cerita, gue nggak akan maksa," tutur Lira menarik napasnya, "gue akan tetap di sini. Ada saat lo udah siap cerita, sama seperti lo yang selalu siaga di saat gue terpuruk."
Kata-kata Lira yang singkat itu mampu membuat perasaan tak nyaman dalam hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya belum bisa terbuka dengan siapapun, bahkan dengan sahabatnya sendiri. Padahal di lubuk hatinya ia ingin mencurahkan semua rasa gelisah dan marahnya pada seseorang, namun batinnya masih takut menerima respon orang jika mendengar ceritanya.
to be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love [END]
Fanfiction[Mini-series #1] Kata orang pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu bukan murni pertemanan, tapi ada perasaan lain yang nggak seharusnya ada di sana. Daripada dengerin kata orang, dirinya lebih senang mendengar kata hatinya sendiri. Kalau ini...