10. (Perhaps) love

94 23 4
                                    

Keesokan harinya, Nathan pergi menemui Lira di fakultas psikologi. Kabar baiknya, Nathan pergi menemui Lira tanpa bertemu dengan Meydina terlebih dahulu.

"Ada apa? Tumben nggak ke kelas sebelah dulu," tutur Lira.

"Meydina nggak masuk."

Lira tersenyum miring.

"Gue ke sini mau ngajak lo ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Ada pokoknya. Yuk!" Nathan menggenggam tangan Lira dan menariknya, "ayo!"

"Gue masih kuliah," sanggah Lira.

"Kuliah gue udah selesai dan kuliah lo nggak ada dosen," Lira hendak membuka mulutnya untuk bertanya dari mana Nathan tahu jam kuliahnya hari ini kosong, "dari—"

"Gue tahu dari Yessie. Jadi, ayo kita pergi!"

Lira tak bergeming, "tapi, Nat!"

"Tapi, kenapa?"

"Gue nggak enak sama Meydi."

Nathan tersenyum, "tenang aja," lanjutnya sambil merapikan rambut Lira yang menghalangi wajah ke belakang telinga. Lira yang diperlakukan seperti itu hanya terdiam menatap paras sahabatnya. Mata, alis, dan senyumannya—sungguh, ia pasti akan merindukannya nanti. Tanpa sadar bulir air mata jatuh dari pelupuk.

"Li?!" gumam Nathan khawatir. Lira masih hanyut dalam perasaannya.

"LIRA?!" sentak Nathan, membuat Lira tersadar dari lamunannya. "Lira, lo kenapa?"

"Hm?"

Nathan mengernyit melihat Lira yang selinglung itu. Tidak biasanya.

Terakhir kali ia melihat Lira seperti ini saat gadis itu kehilangan ibunya.

"Lira, ada apa?"

Lira tersenyum sambil menyeka air matanya. "Nggak, pa-pa," jawab Lira, tetapi malah membuat Nathan semakin khawatir.

Nathan jadi merasa apakah selama ini dirinya telah melewati Lira segitu jauhnya? Sampai-sampai ia tidak tahu apa yang membuat sahabatnya itu kembali bersedih seperti 4 tahun yang lalu.

"Yaudah, ayo kita berangkat! Katanya mau ngajak gue ke suatu tempat."

"E-eh iya. Ayo," sahut Nathan tidak sesemangat tadi.


Begitu sampai di tempat tujuan, Lira terdiam sejenak.

"Kebun raya?" angguk Nathan.

"Kita mau piknik?" seru Lira berbinar.

"Suka 'kan?"

Lira tersenyum mengangguk, "suka! Tapi, jauh banget. Kan ada kebun raya yang dekat balaikota."

"Di sana nggak ada bunga sakuranya," sahut Nathan sambil berjalan masuk.

Lira membelalak, "eh? Di sini emang ada?" Nathan mengangguk, reflek Lira memeluk pergelangan tangan sahabatnya itu.
"Baru tahu gue."

"Lo sih nugas terus, jadi nggak tahu."

"Bukan gitu, gue cuma bingung aja kalau mau ke mana-mana. Abis nggak ada yang nemenin."

Nathan mengerutkan alisnya, "emang Yessie ke mana? Bukannya biasanya kalian bareng."

"Dia kerja. Tiga bulan lalu ayahnya meninggal, dia nggak tega sama Ibunya. Walaupun uang yang ditinggalin ayahnya masih cukup untuk bayar kuliahnya sampai lulus, tapi dia tetep mau kerja,"

"Katanya mau bantu Ibunya," lanjut Lira.

"Tiga bulan yang lalu?"

Lira mengangguk dan Nathan menatap gadis di sebelahnya nanar. Ia jadi tersadar bahwa tiga bulan ini dirinya juga jarang menemui Lira.

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang