09. Sebelum semuanya

84 22 4
                                    

Tiga bulan kemudian.

Sudah lebih dari 90 hari sejak mental illness Lira kambuh di hadapan Nathan, mereka jarang bepergian bersama lagi. Bukan, bukan karena Lira merasa ia membebani Nathan ataupun Nathan yang merasa dibebani, tetapi mereka tahu bahwa ada batasan untuk saling mengkhawatirkan.

Walau Lira mengharapkan perlakuan Nathan yang seperti biasanya, namun tidak bisa ia pungkiri bahwa sahabatnya itu telah memiliki orang lain untuk lebih diprioritaskan. Sebab, Lira tahu bahwa sahabatnya itu adalah laki-laki gentle yang tidak akan bersikap baik kepada semua perempuan.


"Hai, Li," sapa Nathan.

"Halo, Nat."

Terdengar kaku memang, tapi percayalah raut wajah mereka terlihat bahagia. Saling tersenyum. Senyuman dan kontak fisik yang hanya sebatas menepuk, tidak lagi merangkul atau memeluk.

"Lagi sibuk banget?" tanya Nathan basa-basi, lalu duduk di sebelah Lira yang sedang mengetikan sesuatu di laptopnya.

"Menurut lo?" jawab Lira santai. Tidak ada nada ketus, hanya masih fokus pada layarnya.

"Lagi nugas?"

"Iya."

"Tugas apa?"

Lira menoleh menatap Nathan.
"Buat mini proposal penelitian."

"Perlu bantuan nggak?" tawar Nathan, Lira kembali menatapnya.

"Nggak usah basa-basi, deh. Sebenernya lo ada apa nyamperin gue?"

Nathan tersenyum malu, "tahu aja lo kalau gue cuma basa-basi."

"Iyalah, jurusan lo apa jurusan gue apa," pukas Lira, "so, what happened?"

"Temenin gue ke acara gamers mau nggak?"

"Gue cewek sendiri dong?"

"Nggak lah. Kan gamers ada yang cewek juga."
"Oh .... emang Meydina ke mana?"

"Sore ini dia ada wawancara organisasi."

"Bentar, bentar. Acaranya sore ini?"

"Iya. Lo bisa 'kan?"

Lira mengalihkan pandangannya. Sebenarnya hari ini ia ada jadwal konseling dengan psikolognya. Namun, ia tidak bisa menolak Nathan yang meminta tolong dirinya. Pun, ia rindu pergi dengan sahabatnya itu setelah sekian lama tidak pergi bersama.

"Bisa, deh."

Nathan mengernyitkan dahi, "deh? Kok ragu-ragu gitu?"

"Nggak, nggak. Bisa kok!"

"Bisa?"

Lira mengangguk mantap, sontak Nathan memegang kedua pipi dan mengelus pelan puncak kepala Lira pelan.

"Nat!" pekik Lira kaget.

"Hehe, sorry kelepasan."


Setibanya di tempat acara Nathan, Lira hanya menelisik ruangan dan tamu-tamu yang datang. Ia belum pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya. Paling-paling datang ke pesta ulang tahun yang isinya hanya anak perempuan.

Lira menatap jam di tangannya. Diminta Nathan duduk menunggunya di sini membuat ia bosan.

"Nathan ke mana sih? Dia ngajak gue tapi kok kayak ninggalin?!" gumamnya.

Baru mau Lira berdiri dan memilih untuk pulang karena Nathan yang juga tak kunjung mengangkat panggilannya, langsung ia urungkan niatnya karena layar ponselnya menampilkan tulisan Nathan is calling.

"NATHAN! Lo dari—"

"Halo, Lira! Sorry. Lo bisa pulang sendiri 'kan?"

Lira mengernyit, "iya bisa. Tapi, lo ke mana sih? Dari tadi gue telponin nggak diangkat."

"Sorry, sorry. Gue nggak sempet pamit tadi."

"Emangnya ini lo lagi di mana?"

"Rumah sakit."

Lira memelotot dan langsung berdiri dari duduknya. "Lo kenapa?!"

"Nggak, gue nggak kenapa-napa. Gue di sini karena Meydina telpon."

Lira mengatupkan bibirnya. "Meydi, kenapa?"

"Dia pingsan."

Tanpa sadar Lira menghembuskan napasnya. Ia merasa kesal, tapi juga tidak ingin merasa kesal.

Kesal karena bisa-bisanya Nathan memperlakukan dirinya seperti ini. Pergi tanpa berpamit seolah-olah Lira tidak akan marah. Tetapi, di sisi lain ia juga tidak ingin merasa kesal karena sahabatnya itu sekarang sudah menjadi pria dewasa yang selalu siap siaga menjaga orang yang dicintainya.

"Li! Halo, Li?!"

Lira tersadar dari lamunannya. "H-hah? Eh, iya, Nat?"

"Lo kenapa, Li?"

Lira menggeleng cepat, "nggak apa-apa, Nat."

"Serius?"

"Serius. Jadi, intinya gue pulang sendiri kan? Sekarang gue udah boleh pulang?"

"Boleh. Hati-hati."

"Hm. Lo juga. Jangan lupa dinner. Tadi gue perhatiin lo belum makan hidangan di sini."

"Hm. Thanks, Li. Take care."

"You, too. Yaudah gue pulang ya."

"Hm."

"Bye."

Lira menatap nanar layar ponselnya. Mendengus kasar. Lagi-lagi ia menjadi seperti simpanan. Datang saat dibutuhkan dan ditinggal saat sudah tak diinginkan. Ia jadi berpikir, haruskah Lira benar-benar pergi? Lagi pula sekarang ia memang benar-benar sendiri.

To be continue.

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang