11. Hari perpisahan

106 26 6
                                    

3 hari kemudian, setelah Lira memberikan salam perpisahan lewatan pelukan tulusnya pada Nathan—akhirnya, hari ini ia akan benar-benar pergi.

Setelah berminggu-minggu bergelut dengan pikiran dan hatinya, kini Lira telah mantap dengan keputusannya.

Lira, sosok gadis misterius dalam skenario hidup Nathan. Tidak banyak sosoknya yang terungkap di permukaan. Hanya sebuah kejutan yang selalu ia lakukan di sepanjang persahabatan mereka. 10 tahun bersama tidak membuat dua insan yang berbeda itu mengetahui apa yang diingkannya satu sama lain. Jangankan untuk mengetahui satu sama lain, untuk mengenali diri sendiri pun agaknya belum mereka lakukan.

Semesta mempertemukan manusia dengan manusia lainnya bukan tanpa sebab. Setiap pertemuan ada maknanya sendiri.

Hati. Perasaan. Dua hal nyata yang abstrak. Sampai-sampai harus ditunjukan atau diucapkan agar semua menjadi kenyataan.

Mimpi hanyalah mimpi jika tidak ada action.

Begitupula dengan perasaan Lira selama ini. Dirinya sendiri bahkan tidak pernah sadar bahwa rasa sayang dan cintanya terhadap Nathan bukanlah sayang dan cinta sesama manusia ataupun persahabatan. Tetapi, ia baru sadar bahwa ini adalah sebuah perasaan yang lebih dalam. Perasaan ingin memiliki sekaligus melepaskan. Munafik saja jika Lira mengatakan bahwa ia baik-baik saja melihat Nathan bersama Meydina. Bohong kalau dirinya tidak ingin memeluk Nathan setiap hatinya terasa sakit menghadapi kerasnya hidup. Bohong jika ia mengatakan tidak ingin untuk semua perlakuan Nathan terhadapnya. Selama ini Lira hanya menahannya. Karena, dirinya teringat dan sadar bahwa cinta akan berakhir pada mengikhlaskan.


"Li, kok kamu perginya mendadak sih?" Yessie menggenggam pergelangan tangan Lira loyo. Hatinya merasa tidak enak mendengar sahabatnya itu hendak pergi.

Lira menggenggam balik tangan Yessie, "nggak mendadak kok, Yes. Aku cuma baru bilang aja."

"Itu! Maksudku, kenapa kamu baru bilang?! Aku jadi ngerasa jahat sama kamu. Pasti selama ini kamu butuh temen cerita ya. Sampai-sampai kamu harus pergi."

Lira tersenyum lembut. "It's okay, Yes. Aku emang butuh temen cerita, tapi aku tahu kondisi orang-orang di sekitarku. Termasuk kamu."

"Hidupmu, hidupmu. Hidupku, hidupku. Kalau aku menahan orang yang ada di sisiku hanya untuk menjadi pelampiasan ketidaksenangan perasaanku, itu berarti aku nggak sayang kalian,"

"Aku nggak pengin menghambat kalian. Aku nggak akan bohong bahwa kesepian jadi salah satu motivasi aku untuk cari tantangan baru, tapi balik lagi itu bukan faktor utamaku. So, aku akan baik-baik aja, Yes."

Yessie menatap Lira sendu. Ia benar-benar senang bisa berkenalan dan berteman baik dengan Lira. Baru kali ini ia bertemu dengan orang yang tegar dan penuh tekad seperti Lira. Sahabatnya itu terlihat sangat baik-baik saja dari luar. Tidak pernah sekalipun memberitahu atau menunjukan diri bagaimana kondisi aslinya di depan orang lain.

Yessie jadi teringat ucapan dosennya yang mengatakan bahwa sakit fisik dapat terlihat dengan jelas letaknya, namun tidak dengan sakit mental—pikiran dan perasaan—perjuangan untuk beradaptasi hidup bersamanya.

"Li, sering-sering telpon, ya."

"Iya, Yessie."

"Kalau mau cerita telpon gue."

Lira terkekeh, "Iya, Yess, iya." Sontak Yessie pun memeluk Lira erat. Ia akan merindukan sahabatnya itu.


"Weits, lagi pada ngapain nih? Peluk-pelukan." Muncul Nathan yang tiba-tiba sudah duduk sebelah Lira.

Dua gadis itu pun tersadar. Yessie melepaskan rengkuhannya dan berganti melihat Nathan.

"Lagi pada ngapain sih? Peluk-pelukan kayak mau perpisahan aja," gurau Nathan. Yessie memutar bola matanya malas. Jujur saja Yessie sedikit melihat Nathan. Ia kesal dengan sikap friendlynya pada Lira. Walau, Lira selalu berkata bahwa Nathan hanya seperti itu pada dirinya, tapi tetap saja Yessie kesal. Lira juga perempuan. Apa Nathan tidak pernah berpikir bahwa perilakunya bisa membuat orang salah paham?!

"Emang lagi perpisahan," ketus Yessie. Lantas Nathan memiringkan tubuhnya menghadap Lira.

"Li."

Lira menoleh, "ya?"

"Perpisahan apa?"

"Hm, Yessie boleh aku ngobrol sebentar sama Nathan?" ucapnya. Yessie pun mengangguk dan pergi.

"Nanti berangkat jam berapa?"

Nathan mengernyit. Ia tidak mengerti arah pembicaraan dua gadis di hadapannya ini.

"Jam 2, Yes." Yessie menggangguk dan langsung meninggalkan keduanya.













To be continued

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang