08. Khawatir seperti biasanya

99 26 0
                                    

Nathan mengurungkan niatnya berbalik arah meninggalkan Lira saat sesosok orang dengan pakaian hoodie hitam dan celana jeans menghentikan jalan Lira dan Yessie. Ia sedang mengamati Lira yang tampak aneh tingkahnya.

Berbeda dengan Nathan, Lira kini tengah berusaha tidak hanyut dalam trauma masa lalunya. Namun, kaki dan tangan Lira tiba-tiba menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Yessie yang masih mengamati situasi menatap Lira penuh tanda tanya, sebab gadis itu melihat orang di hadapannya tanpa berkedip.

Tidak. Lira belum bisa menghadapinya. Ia benar-benar mengingat semua kejadian itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dadanya sedikit sesak. Bibirnya pun ikut bergetar dan reflek tangannya menutupi.

"Li,"

"Lira!"

Panggilan pertama dan kedua tidak berpengaruh apa-apa untuknya. Ia masih larut dengan memori yang berputar di kepalanya.

"Lira?"

Namun, di panggilan ketiga bola mata Lira menegang. Bibirnya tambah bergetar dan tubuhnya sedikit menunduk, kini tangan satunya pula telah bertumpu di dengkul.

"LI!" Yessie reflek memegang bahu Lira khawatir. "Lira?!"

Nathan yang mendengar Yessie berteriak dan melihat Lira dari jarak 5 meter langsung meninggalkan Meydina yang juga sedang mengamati Lira.

"Nat!"

Nathan langsung menggantikan Yessie untuk menopang tubuh Lira yang masih bergetar. Gadis itu benar-benar nampak tidak sadar dengan kondisi di sekitarnya.

"Lo, pergi!" ucap Nathan keras pada sosok di hadapannya.

"N-Nat, Lira kenapa?"

Nathan makin membelalakan matanya," gue bilang pergi, pergi!"

"Tapi, Nat gue mau—"

"Pergi! Lo pergi atau gue buat lo malu seumur hidup!"

Akhirnya, orang itu menyerah dan pergi dari hadapan mereka semua. Dan, Nathan kembali fokus terhadap Lira.

"Lira, lo denger gue?"

Lira mulai terusik dengan bisikan Nathan.

"Sekarang pejamin mata lo!" peritahnya perlahan dan Lira menurut. Otaknya mulai mengenali stimulus-stimulus yang dulu pernah membantunya saat kondisi seperti ini terjadi.

"Tarik napas, buang!" instruksi Nathan. Lira pun masih mengikutinya.

"Lagi, tarik napas, buang! Tenang, Li. Gue di sini," ucap Nathan lembut sambil mengusap naik turun punggung Lira.

Perlahan, Lira mulai kembali. Badannya sudah tidak bergetar hebat. Tangannya meraih lengan Nathan. Netranya menatap balik Nathan yang dari tadi tidak mengalihkan pandangan.

"Nathan ... pulang ...," pinta Lira dengan suara seraknya.

Nathan langsung mengangguk, "iya, kita pulang sekarang."

Namun, sebelum itu Nathan berpamitan kepada Meydina. Ia juga memohon maaf karena tidak jadi mengajaknya ke rumah untuk bertemu dengan neneknya.

"Nggak apa-apa, Nat. Kamu pulang aja anter Lira, aku bisa pulang naik ojol."

"Maaf, ya," ucap Nathan.

"It's okay, Nat. Udah sana, Lira nungguin kamu."

——

Nathan dan Lira sudah berada di atas motor, membelah jalanan kota. Suasana ramai namun suasana sangat hening. Nathan yang fokus mengendarai motornya dan Lira yang fokus mengembalikan kesadarannya.

"Nat."

"Iya, Li?" teriak Nathan.

"Maaf."

"Untuk?"

"Maaf udah nyusahin lo lagi."

"Lo ngomong apaan sih? Gue nggak denger."

"Maafin gue, Nat," lirih Lira. Maafin gue yang selalu ganggu hidup lo. Gue selalu berusaha supaya lo jangan sampe lihat gue kayak gini lagi, tapi kenapa lo harus lihat lagi? Tanpa sadar air mata mengalir begitu saja dari mata Lira.

"Maaf, Nat ..." lirih Lira sendiri.

Nathan dapat merasakan Lira sedang menangis sekarang. Sejak kapan lo kayak gini lagi, Li? Apa beberapa bulan belakangan ini lo baik-baik aja?

———

"Nathan, maaf dan makasih."

Nathan tersenyum sambil mengelus kepala Lira pelan. Lalu, mengangguk, "sama-sama."

Jujur Lira menjadi tidak enak dengan Meydina, namun hati kecilnya tidak bisa bohong bahwa ia membutuhkan Nathan. Entah sejak kapan ia merasa saat gangguan paniknya dan trauma masa lalunya mengintainya—saat ada—Nathan di dekatnya ia merasa aman dan nyaman.

Lira tidak bisa berbohong lagi. Ia sangat sedih saat mendengar Nathan berpacaran dengan Meydina. Kebiasaan dan waktu yang mereka habiskan bersama mungkin telah membuat Lira jatuh cinta pada sahabatnya itu.

Lira ingin egois, namun Lira tak ingin dibenci. Nathan bukanlah orang yang suka dikekang, Lira tahu betul itu. Semenjak pertengkaran Nathan dan orangtuanya yang sampai mengharuskan dia tinggal dengan neneknya, membuat Lira semakin  yakin bahwa Nathan bukanlah orang yang akan mengikuti kemauan orang lain. Dia akan benar-benar mengikuti dirinya sendiri.

"Li?"

"Lira?!"

"Hm?"

"Kenapa bengong? Udah sana masuk."

Lira tersenyum kikuk.
"Nggak mau mampir?"

"Nggak dulu, Li. Nenek minta gue jam 5 udah di rumah."

Lira mengangguk. "Oh, ok. Sekali lagi makasih ya."

"Iya, sama-sama. Kayak sama siapa aja."

Lira tersenyum canggung. Memang mereka bukan orang yang saling tidak mengenal atau orang yang baru berkenalan, tetapi secara mereka akan jadi orang lain saat salah satunya telah memiliki prioritas lain untuk lebih diprioritaskan.

To be continue.

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang