12. Hari keberangkatan

109 27 9
                                    

Hai, Guys!🙌🏻
Gimana kabarnya?? Semoga tetap dalam keadaan sehat yaa.
Maafkan aku yang baru bisa update lagiii.


Happy Reading

Lira menatap Nathan lekat. Dalam hatinya ia ingin memeluk sahabatnya untuk yang terakhir kali.

"Maksud Yessie ngomong kayak tadi apa, Li?" Lira tak menjawab. Matanya masih menatap wajah Nathan yang penuh akan sirat kebingungan.

"Li?!" pekik Nathan, "kok bengong? Gue tanya nih, emang lo mau ke mana jam 2?"

"Bandara," jawab Lira to the point. Nathan terdiam.

"Ngapain? Sama siapa?" tanya Nathan membabi buta.

   "Ya, untuk naik pesawat."

   "Li, gue lagi serius ya."

   "Gue juga nggak bercanda, Nat."

   "Mau ke mana lo sampai harus naik pesawat segala?" tanya Nathan dengan suara yang sedikit meninggi.

   "Kanada." Nathan terbelalak. Ada gelenyar aneh yang tiba-tiba menghinggapi dadanya.

   "Di sana gue mau student exchange. Kira-kira sampai lulus," lanjut Lira. Ia bahkan tidak menghiraukan raut wajah Nathan yang berubah sejak dirinya mengatakan akan pergi.

   "Sorry, gue baru bilang sekarang."

   Nathan tak bergeming. Dirinya hanya menatap Lira kosong. Menatap setiap inci wajah sahabatnya. Mencari kebohongan kalau-kalau Lira hanya membercandainya. Namun, tak ada yang aneh dari wajah sahabatnya itu. Hanya senyum tipis.

   "Kenapa harus ke Kanada?"

   "Hm, karena di Kanada gue masih punya keluarga." 

   Nathan terhenyak mendengarnya. Lira anggap apa ia selama ini?

   "Di sini kan ada gue."

    Lira menggeleng, "di sini memang ada lo. Tapi, lo punya kehidupan sendiri. Gue nggak mungkin terus nempelin lo."

   "Why? Bukannya dari kecil kita udah bareng-bareng? Kenapa sekarang lo merasa kita harus hidup masing-masing?!"

    Lira menghembuskan napasnya pelan. Mencoba memberi penjelasan yang tidak to the point kepada Nathan. Ia tidak mau sampai keceplosan mengungkapkan isi hatinya.

   "Ya, pokoknya kita udah nggak bisa bareng."

   Nathan tersenyum miring. Mencoba mencerna dan bersabar dengan kalimat Lira yang ambigu.

   "Lo nggak masuk akal, Li. Apa lo mau pergi karena akhir-akhir ini gue nggak pernah nemenin lo ke mana-mana?" tutur Nathan to the point. Namun, malah dibalas Lira dengan kernyitan.

   "Kalau lo ngerasa gitu harusnya lo bilang."

    Lira masih terdiam. Ia berusaha berpikir positif atas ucapan Nathan, tetapi nihil. Suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Lira ingin menangis.

    Tanpa babibu Lira langsung berdiri dan meninggalkan Nathan yang sempat terdiam sejenak.

   "Lira!"

   "Li?!" sahut Nathan, ia genggam pergelangan tangan Lira.

   "Lo kenapa sih, Li?" Lira tak menjawab. Ia tak ingin menangis di depan Nathan.

   "Lira?!"

   "... hh, apa Nat? Apa yang mau lo denger dari gue?"

   "Li, lo nangis?" ucap Nathan setelah meliat mata Lira memerah dan berair.

   "Sorry, sorry kalau gue kasar."

   "Lepasin tangan gue, Nat. Nanti gue ketinggalan pesawat!"

   Nathan melepaskan genggamannya.

   "Li, lo ada ap—"

   "Gue pamit."

   Lagi-lagi Nathan menggenggam Lira. Kali ini ia pegang kedua tangannya.

   "Nat, tolong jangan mempersulit gue."

   "Jawab dulu pertanyaan gue. Kenapa lo pergi?"

   "Gue kan udah jawab tadi. Gue mau belajar."

   "Belajar? Ok, gue paham. Tapi, satu yang nggak gue paham. Kenapa lo bilang di Kanada lo masih punya keluarga? Padahal di sini juga lo ada gue."

   "Beda, Nat. Lo itu cuma sahabat gue."

   "Cuma? Cuma lo bilang?"

   "Terus apa? Ok, lo juga keluarga gue. Tapi, tante gue di sana adalah adiknya mama. Jadi, kalau gue mau pulang tempat pulang gue ya itu."

   "Kenapa bukan gue?"

   Nathan bodoh. Kenapa lo pancing-pancing gue terus!!!

   "Hhh, please. Lepasin gue, Nat. Gue bisa telat."

   Nathan menggeleng. "Lo nggak boleh pergi sebelum kasih gue jawaban yang masuk akal.

   "Apaan sih?! Itu gue udah kasih jawaban yang masuk akal."

   "Nggak lo aneh, Li. Sebelumnya juga lo nggak pernah mau tinggal bareng tante lo karena lo ngerasa di sini aja lo udah punya segalanya."

   "Emang. Dulu gue emang punya, tapi nggak dengan sekarang."

   "Hm?"

   "Berhenti, Nat. Gue pengin berhenti. Gue nggak mau selalu salah paham sama perlakuan yang lo kasih ke gue."

   "Gue pernah bikin lo salah paham apa?"

   Lira mendengus, kali ini ia benar-benar kesal. Sudah berapa kali ia jelaskan dan mengapa seolah-olah Nathan bersikap bodoh.

   "Perlakuan lo bikin gue suka sama lo."


To be continue.

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang