14. Pergi

115 24 5
                                    

[Jangan lupa diplay lagunya]
-
Happy Reading!
-
-

Setelah kejadian beberapa jam yang lalu, Lira mencoba untuk mengikhlaskan segalanya.

Sampai detik terakhir kepergiannya, Nathan tetap tidak mengatakan apapun. Laki-laki itu benar-benar diam seribu bahasa. Tubuhnya pun tak berkutik. Dia membiarkan Lira pergi begitu saja.

Lira memilih untuk tetap pergi, karena ternyata ekspektasinya tentang Nathan hanyalah sebuah ilusi. Nyatanya, hanya dialah yang memiliki perasaan itu.

===

Setelah menempuh perjalanan udara selama beberapa jam, akhirnya Lira mendarat di Bandara Internasional Toronto Pearson.

Entah sebuah keajaiban seperti apa, tiba-tiba suasana hatinya mendadak menjadi lebih baik.

Mungkin karena cuaca di sini.

Cerah dan sejuk. Itu yang mendeskripsikan kota ini sekarang. Dari bandara hingga sekarang dalam perjalanan menuju rumah bibinya—Lira tak henti-hentinya menikmati udara yang sejuk, sekaligus hangat itu.

"Nathan ... gue harap lo bahagia," gumamnya di sela hembusan napasnya.

Begitu sampai di rumah bibinya, Lira bergegas membuka kopernya. Dirinya baru sadar ternyata dia membawa banyak barang yang hampir semuanya adalah pemberian Nathan.

Lira tersenyum masam. Dia tidak mungkin tega membuangnya. Lagipun, ini adalah rezeki. Tidak baik disia-siakan.

"Hati gue sakit, tapi gue bingung mau ngapain," ucapnya lirih. Suasana hatinya tiba-tiba memburuk lagi.

Jujur saja, Lira merasa tidak nyaman dengan dadanya. Seperti ada sebongkah es yang menghantam bagian itu, tetapi pada detik yang sama dia juga tidak dapat memahami perasaannya. Terasa ingin menangis, tapi tak bisa.

===

Nathan sudah berada di rumahnya. Di sepanjang jalan dia merutuki perilakunya yang seperti patung itu.

Pada saat itu tubuhnya membeku. Dia kaget dengan pernyataan dari sahabatnya. Ada sisi di mana dia ingin memeluk Lira, namun ada sisi lain juga yang menangkis hasrat terpendam itu.

Nathan merebahkan tubuhnya di kasur yang biasa ditiduri oleh Lira. Ya, dia sekarang sedang berada di rumah Lira. Dia tidak bisa kembali dengan keadaan seperti itu. Apalagi untuk bertemu Meydina.

"Bodoh banget lo, Nat," monolognya.

Nathan memejamkan matanya. Sebulir air mata jatuh begitu saja melewati pipinya. Ini adalah hal yang langka. 

"Dada gue kenapa sesak banget?!"

Dia bingung. Bingung dengan kondisinya. Kenapa bisa dia merasa sesakit ini melihat Lira pergi menggeret kopernya, sedangkan saat itu dirinya hanya diam termenung?!

Apakah dia sedih karena kehilangan sahabat kecilnya atau kehilangan cintanya? Entahlah, hanya Nathan dan Tuhan yang tahu.

"Mungkin karena dia sahabat gue. Gue jadi sedikit sedih dia pergi, iya ... bener, pasti itu alasannya." Nah, tuh kan. Benar dia menganggap ini adalah perpisahan yang menyedihkan antar sepasang sahabat.


Tring ... tring ...

Benda pipih yang sedari tadi diabaikannya, kembali berbunyi.

35 panggilan tak terjawab "Meydina"

"Halo."

"Hai, Nat. Kamu di mana? Belum sampe ya?"

Hening. Sejujurnya, Nathan agak males berbicara dengan siapapun sekarang.

"Nat? Are you okay?

"I'm okay," jawabnya dengan nada rendah. "Maaf, aku ada sedikit masalah. Kita reschedule aja ya?"

" ... "

"Mey?"

"Ya?"

"Kamu baik-baik aja?"

"Aku baik kok, Nat. Yaudah nggak apa-apa kita reschedule acaranya ya."

"Thanks, Mey."

"Okay."

Nathan langsung menutup telpon itu tanpa babibu. Suasana hatinya sedang tidak nyaman, dan dia paling tidak suka pada saat itu.

Lira

Li, lo lagi apa?

Nathan menghembuskan napasnya. Pesan digitalnya tak tersampaikan. Hanya ceklis satu di sana.

Beberapa waktu kemudian.

Lira

Li, lo udah sampe kan?

Masih tetap ceklis satu. Padahal Nathan tahu, gadis itu pasti sudah sampai, karena malam telah datang kembali.

===

Lira merasa ingin kembali mengunduh aplikasi pesan digitalnya di handphone. Namun, dia harus mengurungkan niatnya kembali mengingat dokternya bilang dia harus menghilangkan sejenak hubungan masa lalunya saat dirinya memilih untuk pergi.

Ini menjadi salah satu alasan Lira pergi. Karena belum lama ini depresinya kembali.

Relapse atau kambuh. Orang-orang psikologi atau kejiwaan biasa menyebutnya itu.

Lira menyadari kondisinya beberapa waktu ini memburuk. Walau setiap hari dirinya pergi ke kampus, jalan-jalan, atau menghabiskan waktu bersama teman-temannya seperti biasa—namun, tidak dapat dipungkiri bahwa depresinya kembali.

Mental illness yang didiagnosa pertama kali oleh psikolog klinisnya ketika dia mengalami peristiwa menyakitkan bersama mantan pacarnya, membuat Lira harus mulai merubah pola hidupnya. Ditambah peristiwa masa kecil yang tak pernah dia lupakan sedikitpun menjadi pemicu lain. Saat itu dia harus mulai meminum obat agar dapat menstabilkan emosinya. 

Awalnya Lira kaget. Mungkin itu dirasakan oleh semua penderita depresi pada awalnya. Mereka mengira baik-baik saja karena masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa atau bahkan meraih prestasi. Namun, tidak saat sadar ketika lebih dari dua minggu hawa gelap menyelimuti jiwanya—seperti tiba-tiba malas melakukan sesuatu, merasa tidak berharga, atau hingga timbul perasaan ingin bunuh diri—bahwasannya mereka butuh pertolongan. Pada saat itu Lira merasakan semuanya.

Dan, perasaan itu kembali dia rasakan ketika Nathan mulai berhubungan dengan Meydina. Dirinya kembali merasa sendiri dan merasa tidak dibutuhkan, sampai ada bagusnya—mungkin—jika dirinya mati pun tidak akan ada yang peduli.

Di sinilah dia sekarang. Toronto, Kanada, menjadi kesempatan Lira untuk tetap belajar dan membenahi mindsetnya sejenak. Menghilang dari hal-hal pemicu tekanan batinnya. Dia janji dirinya akan mengatakan semua ini kepada orang-orang yang mungkin sekarang merasa dia kucilkan.

Tbc.

Hai, hai aku update lagi. Alhamdulillah hehe.

Btw, aku minta tolong dikoreksi ya kalau ada kata yang typo, supaya bisa segera dibetulkan:)

Dan, terima kasih buat yang sudah vote+komen!! ❤️❤️

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan, semoga senantiasa diberi keberkahan, aamiin.

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang