Lira melangkahkan kakinya menuju tempat yang selama ini dia singgahi. Sudah sekitar dua tahun dirinya meninggalkan hiruk pikuk kehidupan gelapnya. Sekarang, dia telah sepenuhnya berdamai dengan keadaan.
Hari ini dia akan kembali menjadi asisten psikolog di sebuah yayasan tempat dia magang setahun yang lalu. Waktu itu dia juga memilih untuk melakukan penelitiannya dengan mengikutsertakan para klien dari tempat itu. Di sana dirinya banyak bertemu dengan penyintas depresi sepertinya dan merasa memiliki keluarga baru.
"Hai, hari ini masih dengan secangkir americano?" sapa Lira begitu dia sampai dan melihat partner kerjanya lagi-lagi menyeruput secangkir kopi di pagi buta. Walau katanya itu baik untuk penelitian, namun kenyataannya itu tidak baik bagi tubuh pria itu.
"Apa kau sudah sarapan?" tanyanya lagi.
"Aku tidak biasa sarapan. Secangkir kopi adalah sarapan sempurna bagiku."
"Hm, sulit berbicara denganmu Mark."
Ya, pria yang dari tadi mengobrol dengan Lira adalah partner sekaligus tempat curhatnya selama dua tahun ini.
Dia merupakan pria hebat berusia 25 tahun dengan gelar psikolog di dadanya.
"Apa dulu saat dirimu mengambil profesi kau selalu begadang dengan secangkir kopi?"
"Tidak terlalu, hanya sesekali. Karena aku cepat dalam melakukan apapun, jadi aku tidak perlu waktu banyak untuk menyelesaikan."
"Ya, ya, aku percaya. Kau tidak akan mungkin jadi seperti ini di usiamu yang masih muda."
"Kau tahu itu."
Lira sangat tahu perbedaan sistem profesi psikolog di luar negeri dengan di Indonesia sangat berbeda. Jika, di Indonesia program magister ditambah profesi bisa menjadikan seseorang psikolog—berbeda dengan di sini—kau harus mengambil pendidikan lagi setara S3 baru bisa menjadi psikolog. Kasarnya begitu.
"Mark, apakah hari ini klien kita banyak?"
"Tidak terlalu, hanya perempuan tempo hari yang berbicara padamu tentang bipolarnya."
Lira ber-oh-ria. "Lalu, setelah itu?"
"Tidak ada. Mungkin kita akan pergi jalan-jalan?"
"Ke mana?"
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kau bilang dirimu ingin mencoba membuat aplikasi."
"Hahaha, kau masih ingat saja. Padahal aku hanya bercanda."
"Ingatlah, kebetulan aku punya teman dengan keahlian itu. Dan, dia juga berasal dari Indonesia."
"Oh, aku jadi penasaran."
"Jadi, kau tetap tertarik untuk membuat aplikasi kan?"
"Yes, of course, I am. Di sana aku akan mencoba merealisasikan impianku membantu banyak orang di Indonesia supaya melek kesehatan mental,"
"Aku merasa di negaraku memang sudah banyak kampanyenya, tapi aku merasa itu baru sampai pada orang-orang yang berusia muda."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku masih merasakan lingkungan sosial yang toxic dan itu berasal dari keluarga besarku,"
"Aku merasa aku harus membuat sebuah program yang bisa mengedukasi dan memberdayakan individu dari akar-akarnya."
Mark tersenyum sambil bertepuk tangan, "idemu bagus, Li. Kau harus bisa mewujudkannya, karena kau hebat."
Lira hanya tersenyum. Beginilah bayangan kehidupannya dua tahun terakhir. Selalu penuh dengan energi positif. Ini baru dari Mark—partner, guru, sekaligus sahabatnya. Ya, lagi-lagi Lira berteman dekat dengan lawan jenis. Tapi, kali ini dia meyakinkan diri ini hanyalah pertemanan. Tidak ada perasaan cinta di dalamnya.
===
Sore harinya Mark benar-benar mengajak Lira pergi. Dia sampai menghampiri Lira ke flatnya yang arahnya berbeda. Padahal laki-laki itu bisa saja menunggu Lira di depan gedung acara.
"Kau seriusan menjemputku, Mr. Mark."
"Aku laki-laki yang bertanggungjawab."
"Hahah, hanya saat kau ada maunya."
"Tidak ya, aku selalu seperti ini. Apalagi menyangkut kau."
Hening. Lira terdiam sejenak. Mencerna ucapan orang di hadapannya.
"Tegang sekali kau. Apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada. Ayo, berangkat!"
Mereka pun lantas pergi. Di perjalanan tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Lira yang sibuk dengan bukunya dan Mark yang fokus dengan jalanan—alias menyetir.
"Mark, kau pernah baca buku Loving the Wounded Soul?"
"Regis Machdy?"
"Yes."
"Aku pernah. Tentang penulis yang berjuang dengan depresinya dan menceritakan hal-hal yang membuat pembacanya menjadi open-minded kan?"
"Ya, kau tahu ternyata. Mirip sekali denganku."
"Tandanya kau orang hebat, Li."
Lira tersenyum. "Mungkin ..."
"Yakin. Kau memang hebat. Kau mencoba hal baru dan berdamai dengan semuanya,"
"Saat itu—saat pertama kali aku melihatmu duduk di taman fakultas, aku merasa tertarik berteman denganmu. Kau, terlihat diam saat sendiri, namun sangat ramah saat berbaur."
Lira terkekeh pelan, "itu karena aku mencoba menjadi berbeda. Saat itu aku merasa kehidupan lamaku terlalu banyak diam."
"Saat itu kau cukup lucu, Mark. Katanya ingin berteman, tapi ternyata malah ingin menjadikanku subjek penelitianmu."
"Ya, itu semua karena pengaruh Profesor Kimberly yang mengajukan dirimu padaku karena kasusmu cocok dengan penelitianku. Apakah dulu kau merasa aku kurang ajar?"
"Tidak. Saat itu aku tidak merasakan apa-apa. Dan, di pikiranku kau memang hanya murni ingin berteman, tanpa tahu ternyata ingin mengambil keuntungan dariku."
Mark terkekeh. Dia sadar dulu dirinya sangat terobsesi dengan Lira karena bisa mendukung kelulusannya.
===
Setelah menghabiskan waktu kurang dari dua jam, akhirnya mereka sampai. Begitu sampai mereka langsung masuk ke dalam gedung.
Lira melihat-lihat seisi ruangan yang penuh dengan komputer atau sarana prasarana penunjang teknologi canggih. Tempat ini seperti ruang laboratoriumnya anak teknik. Indah, tapi terlihat rumit.
"Li, tunggu di sini. Akan ku panggilkan temanku."
"Ok."
Tanpa memakan waktu, Mark pun kembali dengan sesosok pria yang sebelumnya dia ceritakan.
"Li!"
Lira yang tengah asyik menyentuk benda-benda mekanik itu, menoleh ke arah sumber suara.
"Kenalin, ini Nathan."
"Hello, Nath—"
Bibirnya kelu. Matanya membulat. Tangan yang tadinya hendak bersapa, dia hentikan gerakannya—karena sosok familiar di hadapan matanya.
"Lira?!"
Lira menenggak salivanya kasar. Ada desiran aneh di dadanya. Lagi-lagi dia melihat Nathan. Sosok Nathan yang dikenalkan oleh Mark adalah sahabatnya sendiri.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love [END]
Fanfiction[Mini-series #1] Kata orang pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu bukan murni pertemanan, tapi ada perasaan lain yang nggak seharusnya ada di sana. Daripada dengerin kata orang, dirinya lebih senang mendengar kata hatinya sendiri. Kalau ini...