06. Kita yang baru

114 23 0
                                    

Nathan dan Lira telah berbaikan. Setelah makan bersama dan tak mengungkit hal-hal buruk yang terjadi tempo hari, mereka bertekad untuk menjadi lebih dewasa dan belajar dari masa lalu.

Itu sama halnya dengan salah satu teori psikologi yang telah Lira pelajari, self-regulation. Ia ingin menjadi pribadi yang belajar dari masalah. Belajar bagaimana menerima dan mengelolanya. Bukan menghindarinya. Walau, hingga kini ia belum tahu apa yang menjadi kegusaran seorang Nathan Gavindra Althama.

Padahal Nathan tidak pernah semurung itu sebelumnya. Ingin sekali bertanya apa yang terjadi antara dia dan Jovan—si pacar Yessie—sampai begitu pendiamnya dia.

"HOY!"

"Pagi-pagi udah ngelamun aja. Ngelamunin apa sih?"

"Lo."

Nathan menarik alisnya. "Gue?"

"Iya, lo. Lo yang sok misterius."

"Emang gue ngapain sampe lo bisa bilang gue sok misterius?" jawab Nathan dengan kekehan.

Lira tak menjawab, ia hanya menatap Nathan dan berusaha membaca raut wajahnya hari ini. Jangan salah paham, Lira melakukan ini bukan untuk mengetahui pikirannya. Jangan dipikir ia sedang menempuh studi psikologi lantas ia bisa membaca pikiran. Tidak. Itu salah besar. Ia hanya mencoba untuk mengamati emosi apa yang kira-kira sedang dirasakan sahabatnya itu.

"Lo lagi seneng ya?" alih Lira.

Nathan tersenyum lebar. "Ketebak banget ya? Makin hebat aja lo setelah belajar psikologi."

"Mana ada. Orang ketara banget, orang awam juga pasti bisa nebak."

Nathan menyenderkan kepalanya di bahu Lira. Lantas Lira melirik sahabatnya itu.

"Nggak punya tulang ya lo, nyender mulu."

"Pundak lo nyaman."

Lira berdeham canggung. "Bangun, bangun! Berat." Nathan menghela napas.

"Lo—lo kalau cuma mau ginian gue pergi duluan ah."

"Ha? Ginian?"

"I-iya buang-buang waktu gue."

"Yah, nggak sabar banget sih ..." sahut Nathan mencubit pipi Lira. "Sakiitt!!"

"Uuu tayang-tayang. Jadi gini—"

"Apa?"

"Sabar dong! Penasaran ya?"

"Lanjut."

"Gue berhasil jadian sama Meydi."

Lira terdiam. Pikirannya linglung sejenak. Mencerna apa yang telah dikatakan sahabatnya itu.

"Jadian?" Nathan mengangguk.

"Pacaran maksud lo?" Nathan kembali mengangguk. "Iya, emang apa lagi?!"

Lira tersenyum kaku. "Hm, Meydi anak jurusan psikologi?"

"Iya. Dia bilang dia tahu lo, tapi katanya beda kelas."

"Hah, iya."

"Kok ekspresi lo gitu? Kayak nggak seneng gitu."

"Hahahaha, kata siapa gue nggak seneng? Selamat, Nathan! Akhirnya lo nggak jomblo lagi. Btw, gue lupa gue harus ketemu Pak Yudi mau ngasih makalah. Sorry, gue duluan ya," respon Lira cepat. Entah kenapa ia ingin cepat-cepat menjauh dari tempat aneh. Ada rasa tidak enak melewati dadanya.










"Hhhhh! Gue kenapa di sini? Kok gue lari? Aish!" Lira memukul pelan kepalanya. Kini ia ada di dalam toilet merenungi perilakunya tadi.

Setelah agak tenang, ia membuka pintunya dan hendak keluar. Namun, ia urungkan niatnya saat melihat dua perempuan masuk sambil bersenda-gurau.

"Cie, Meydi udah nggak jomblo lagi. Udah berapa lama sama Nathan?"

Itu Meydina, batinnya. Pacar baru Nathan.

"Hampir tiga bulan?" jawab Meydi ragu namun dipenuhi semburat kebahagiaan.

Tiga bulan?

"Tiga bulan? Jahat kamu, masa aku baru tahu."

"Hahaha, aku nggak maksud," sanggah Meydi. "Waktu itu pas dia nembak dia lagi ada masalah, terus dia bilang sampai dia dan sahabatnya baikan baru aku boleh cerita ke orang lain. Begitupun juga dia."

Lira merinding mendengarnya.

"Emang aku orang lain ya buat kamu?"

Meydi memeluk sahabatnya. "Hiih, bukan gitu. Maksudku, dia ngajak aku untuk publish hubungan setelah semuanya baik-baik aja dan kemarin kebetulan dia baikan sama sahabatnya. So, hari ini aku bisa kasih tahu kamu."

"Aneh, apa urusannya berantem sama sahabatnya terus jadi nggak bisa bebas pacaran."

Meydi tersenyum. "Mungkin ada suatu hal," pikirnya positif walau sebenarnya dia juga penasaran.

"Kamu terlalu positif, Mey."

"Hhhh, udah yuk, ke kelas!"

Mereka keluar, tapi tidak dengan Lira. Ia masih mencerna obrolan tadi. Menyeringai menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa kekhawatirannya selama ini hanyalah sia-sia. Pantas Nathan sangat santai saat mereka tak berbicara selama kurang lebih 4 bulan.

Ternyata... ada sosok lain yang lebih bisa menghibur dan menemaninya dibanding persahabatannya.

"Bodoh banget. Gue mengkhawatirkan hal-hal yang nggak perlu."


To be continue

Perhaps Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang