R1-62: ¿}•} ♡°♤°<?

6.1K 1K 34
                                    

***

Ponselnya terus berdering beberapa kali, tapi Abrar belum terusik dari tidurnya.

Pintu kamar tampak terbuka. Di sana muncul seorang wanita yang memasuki kamar dengan segelas air. Dirinya disambut deringan telepon dari ponsel yang bergetar di atas nakas.

"Pak Adi?" gumamnya setelah mengetahui nama yang tertera pada panggilan masuk.

Matanya melirik suami yang terlelap.

"Pak?" Jari-jarinya mengguncang bahu Abrar pelan. "Pak, ada telepon. Kayaknya penting."

"Hmm," responsnya mengandung sinyal kalau dirinya tak ingin diganggu.

Bibirnya digigit. Bingung. Suaminya tipe yang sulit dibangunkan dan biasa bangun sendiri. Apalagi sekarang keadaan sang suami sedang tidak enak badan.

Pandangannya kembali ke ponsel yang kembali berdering. Panggilannya muncul lagi.

"Bapak, ada telepon dari Pak Adi. Kayaknya penting. Dari tadi neleponin terus."

Kelopak matanya sontak terbuka dan tubuhnya pun terperenjat. Nama itu selalu mencemaskannya.

Istrinya terdiam kaget melihat reaksinya yang begitu tiba-tiba.

Abrar memeriksa arah jarum jam dinding di kamarnya.

Jam 21.50. Mau apa lagi dia?

Dia keluar dari selimutnya dan menginjakkan kakinya ke ubin setelah melapisinya dengan sandal. Tanpa membuka suara, ia mengambil alih ponsel yang digenggam oleh sang istri, setelahnya keluar dari kamar menuju ruangan kerjanya tanpa pamit dan berterima kasih.

Kepala wanita yang terduduk di sisi ranjang itu memiring dengan bibir yang menipis. Kenapa suaminya terlihat panik? Tak ingin ikut campur, dirinya memilih untuk menonton televisi saja.

"Halo? Ada apa lagi?" sambutnya dengan ketus.

Adiguna menekuk bibirnya menerima sambutan semacam itu. Surat perjanjian membuat polisi di seberang sana tak menciut lagi.

"Selamat malam Pak Abrar. Santai saja. Kenapa ketus seperti itu?" Balasannya diselingi tawaan sarkastis.

Abrar mengelus-elus dagunya seraya menduduki kursi. "Ada apa? Kenapa malam-malam menelepon? Urusan kita sudah selesai 'kan?" Kini nada bicaranya ternetralisasikan. "Atau ... anak Anda bermasalah lagi dengan kepolisian?" Sindirannya berhasil mendorong Adiguna satu langkah.

Tawaan terpaksa melesat dari mulutnya. "Urusan kita memang sudah selesai. Tapi sekarang, saya ingin membuat urusan baru dengan Anda. Sebuah penawaran."

Alis kanannya naik. "Tawaran? Tawaran seperti apa? Saya tidak akan tertarik. Sudah. Kita selesaikan saja pembicaraan malam ini---"

"Tunggu. Anda yakin ingin menolak tawaran dari saya? Bukannya Anda ingin Satya lebih dikenal masyarakat luas? Ini kesempatan yang bagus untuk merealisasikannya."

"Dari mana Anda tahu kalau Satya...."

Adiguna tertawa lagi. "Hal mudah untuk mengetahuinya. Jadi, bagaimana?"

Komisaris itu mulai terhasut. "Tawaran apa yang Anda maksud?"

Kesekian kalinya smirk terukir di bibirnya. Ia berdehem sebelum menjawab, "Anda tahu topik hangat yang saat ini menjadi pusat perhatian nasional?"

Bibirnya sedikit mengerut. "David Dirgantara?" Tebakannya tepat sasaran.

"Iya. Tawaran yang saya ajukan berhubungan dengannya."

"Bukannya di konferensi pers tadi sore, dia sudah dinyatakan meninggal? Lalu apa yang menguntungkan dari kasusnya?"

***

CIRCLE OF LIES - SHADOW IN THE DARKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang