Tiga

30.7K 1.4K 0
                                    

Adam POV

.... Bahkan kau belum berjuang sedikitpun.

Aku tersenyum kecut. Aku kalah sebelum berperang. Bagaimana mungkin seorang wanita akan bertahan jika aku sendiri tak berusaha untuk mempertahankannya?

Aku menghela nafas panjangku. Haruskah aku menemui wanita itu? Oh, Tuhan! Rasanya kakiku terpatri di tempat. Lidahku kaku saat berada di hadapannya. Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya bercicit pun aku tak mampu.

Aku mengurungkan kakiku untuk menaiki anak tangga, menuju ke ruang kerjanya. Argh!! Wanita itu menciutkan nyaliku.

" Permisi.."

Seseorang menyibakku ke samping. Aku terpaku menyadari tubuh ramping dan kaki jenjang yang menaiki anak tangga. Harum parfum fragrance menyeruak rongga dadaku.

" Adel!" desisku tanpa sadar.

Wanita itu berhenti, membalikkan badannya, menatapku datar.

" Ya, Mr.?"

" Apa kau ada waktu luang?" tanyaku hati-hati.

" Ada hal penting apa?"

Adel, kau bukan Adel yang kukenal. Sikapmu sangat dingin, batinku.

" Tentang kita. Bisa?"

" Baik. Sampai nanti." ucapnya datar lalu kembali berlalu dari hadapanku.

***

Adel POV

Aku tak tau ada apa denganku. Sikapku berubah dingin seketika saat berhadapan dengan pria itu. Bukankah dulu aku menginginkannya? Kemana perasaan itu?

Aku tak bisa fokus bekerja hari ini. Pikiranku sibuk mencari kemana perasaan itu. Beberapa pesan dan telfon dari Beny tak mampu menarik kembali kesadaranku. Aku masih tenggelam dalam lamunku.

Jam pulang kantor tiba. Perasaanku semakin tak jelas. Langkahku gontai menuruni anak tangga. Dalam hati aku berharap pria itu melupakan niatannya. Tapi nyatanya aku harus menahan napas ketika mendapati pria itu berdiri manis menungguku. Aku menarik paksa seulas senyum. Rasanya sungguh menyakitkan.

" Kemana?" cicitku.

" Taman kota. Kurasa tempatnya cocok untuk mendinginkan pikiran." jawabnya.

Aku mengangguk. Sekilas kulihat ia tersenyum kaku.

Dia benar. Taman kota sedikit lebih sepi dari biasanya. Hanya ada segelintir orang yang tersebar di sana.

" Apa yang akan kau bicarakan?" tanyaku lirih sambil duduk di bangku taman tepat di bawah pohon akasia. Tempat favorit Alea dan Kafka dulu.

" Aku merindukanmu. Merindukan saat-saat dulu kita bersama. Tertawa, berbagi sedih, bahkan meributkan hal kecil kemudian tertawa lagi." desaunya lirih.

Suaranya sendu membuatku sesak seketika. Aku menatapnya berkaca-kaca.

" Adel, aku bukan Kafka yang bisa bersikap gila, membuat Alea meleleh setiap hari. Tapi aku ingin sepertinya yang bisa membuat orang yang dicintainya bertahan disisiku. Apa aku salah?"

" Adam, aku juga bukan Alea yang dengan mudah bersikap sewajarnya. Aku.."

" Apa yang harus aku lakukan, Del?"

Aku menatap pria itu kabur karena dengan mudah tangisku tumpah.

" Lupakan.."

Adam memejamkan matanya. Tangannya mengepal keras.

" Melupakan tentang kita?" tanyanya lirih.

" Ya. Maaf." ucapku pendek lalu beranjak pergi.

" Adel!!"

MArriAge LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang