Sepuluh

24.2K 1.1K 6
                                    

Tanpa sengaja Adam kembali bertemu dengan Adel. Ia tampak lebih kacau. Tatapannya datar tanpa menyisakan semangat. Sedikit sesak menggelitik hati Adam. Ia tak sanggup melihat wanita itu diam menelan sendiri sakit dan sesalnya. Adam menahan tangan lembut itu yang bersiap kembali melangkah. Dadanya terasa berdesir. Sial!! Rindu itu menggodanya untuk memeluk erat tubuh ramping di depannya.

Adel terkesiap. Kedua mata itu kini bertatapan. Bertukar luka, saling bercerita tanpa kata. Bibirnya tak mampu berucap. Hanya tatapan mata yang saling merindu.

" Maaf." ucap Adam serak seraya melepas tangan Adel dari genggamannya saat terdengar dering ponsel miliknya.

Ia segera melangkah kembali meninggalkan Adel yang hanya bisa terdiam membeku.

" Ya, Al?"

" Ini aku, Kafka. Jangan lembur lagi. Ingat." ketus Kafka.

" Kau bawa ponsel Alea?"

" Ya. Tadi habis imunisasi Abiel terus Alea ke kantor. Ponselku low-bat."

" Baik, Mr. CEO." ledek Adam.

" Sial!! Awas nanti di rumah."

Adam hanya tertawa kemudian memasukkan kembali ponselnya dalam saku celananya.

Adel masih mendengar jelas obrolan Adam. Ingin rasanya ia memanggil namanya. Tapi ia seperti tercekik. Ia hanya mampu berdiri menatap punggung Adam yang semakin menjauh.

Kau harus mengejarnya kembali, Adel. Apapun yang terjadi nanti yang penting kau sudah berusaha, sisi batinnya menyuruhnya berontak.

" Adam!!" seru Adel sambil melangkah cepat mengejar langkah Adam.

Adam berhenti membalikkan badannya. Sesaat ia kehilangan napasnya saat Adel menubruk tubuh kokohnya, memeluk erat tubuhnya. Ini seperti mimpi baginya bisa kembali merasakan pelukan wanita itu. Harum tubuhnya, wangi shampoo-nya. Adam tak bisa berbuat apa-apa selain membalas pelukan wanita itu. Nyatanya rindu memenangkan hatinya.

" Aku merindukanmu." bisik Adel lega.

" Aku lebih merindukanmu, Adel." ucap Adam parau.

Perlahan Adel melepaskan pelukannya. Menatap Adam berkaca-kaca.

" Maaf aku menyakitimu."

" Tak apa."

" Masih adakah aku di hatimu, Adam?" Adel tau itu tak sepantasnya ia tanyakan pada seorang pria.

" Aku butuh waktu, Adel."

Adel tersenyum getir. Rasanya sangat sakit.

" Aku mengerti."

" Tergantung waktu yang membawanya. Apa ia akan mengembalikan kita atau mengantar kita pada cinta yang baru." ucap Adam sendu lalu melangkah kembali.

Aku akan menunggunya. Menunggu waktu membawamu kembali, ucap Adel dalam hati.

***

Adam memejamkan matanya, bersandar di kursi empuknya. Pelukan Adel masih jelas terasa di tubuhnya. Ia mendekapkan kedua tangannya, merasakan kembali sisa-sisa pelukan Adel. Nyaman dan lega kembali menyelimuti hatinya. Sama seperti saat dulu Adel masih bersamanya. Sebelum Beny mampir di hidup Adel tentunya.

" Adam!!"

Adam tergagap membuka matanya. Ia mendapati Maura tersenyum lebar dengan blouse cyant dan celana putih sepuluh centi di atas mata kakinya. Rambut cat coklatnya terkuncir rapi seperti ekor kuda. Tumben sekali wanita ini tampil natural.

" Kau?"

" Hm. Aku habis ikut Alea ke dokter. So, aku mampir kemari karena Alea singgah ke kantor Kafka."

MArriAge LoserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang