merpati putih • sungjake

848 89 14
                                    

sebagai, putra bungsu keluarga adisuryo, azka wajib menjalani yang namanya perjodohan. tujuannya, mempererat tali persaudaraan, kata bapak.

dulu, ibu juga dijodohkan dengan bapak. azka bukan tipikal anak yang suka membantah dan keluar jalur. azka penurut dan menerima segala yang ada pada dirinya dengan sepenuh hati.

hari ini, azka dipertemukan dengan putra sulung dari keluarga sanjaya. gugup karena belum pernah bertemu barang sekali.

"anaknya gagah, ganteng, sopan. nggak kurang buat kamu, jangan gugup, azka."

ibu menenangkan, mengusap lembut kepalan tangan azka yang mendingin namun berkeringat. azka tersenyum tipis dan mengangguk kecil, berusaha mengatur degup jantungnya.

"mas pernah ketemu dua tiga kali, nggak akan nyesel kamu, dik." reyhan berucap dari kursi kemudi, matanya melirik azka dari kaca spion tengah mobil.

"iya, mas."

tak sampai dua puluh menit, mobil keluarga kecil adisuryo, sampai dipekarangan rumah dengan dinding bercorak batu bata. tungkai azka melangkah keluar, mengikuti yang lain masuk ke rumah dengan model yang apik itu.

"masuk masuk, ayo di dalem udah disiapkan makanan,"

ibu dan bapak bersalaman dengan keluarga sanjaya, masnya juga berjalan dibelakang bapak dan ibu. azka di barisan paling belakang hanya tersenyum canggung begitu disapa.

"eh, azka ya? ganteng e pak," ibu sanjaya menepuk lembut bahunya, senyumnya hangat. begitu juga si bapak. "nggak salah jadi mantu."

azka digiring masuk sampai ke ruang makan, yang lain sudah duduk di bangku masing-masing. ada satu bangku yang kosong, dihadapan pemuda berkulit pucat, kontras dengan rambut legamnya.

azka menunduk singkat, memberi salam. pemuda itu balas tersenyum, sangat samar, namun terlihat tulus.

makan malam dilaksanakan dengan tenang, hanya beberapa candaan yang dilontarkan mas reyhan dan juga bapak sanjaya. azka baru tahu, bapak sanjaya tidak se-seram rupanya.

"azka bantu, bu."

ibu menggeleng, menyingkirkan tangan azka yang akan mengambil piring kotor. "gih, si satya lagi ngasih pakan burung di loteng, temani."

tidak ada pilihan, azka menaiki tangga menuju lantai dua. ternyata di atas sini hanya ada beberapa ruangan. loteng yang dimaksud adalah ruang kosong kecil tanpa atap dibagian rumah ini.

"satya."

yang di sebut namanya menoleh, melihat sosok azka yang berjalan mendekati nya.

"disuruh ibu ta, kesini?"

azka baru mendengar suara si satya. lembut, seperti bulu angsa yang ada di hiasan dinding kamar ibu. azka mengangguk kecil, mengambil tempat untuk duduk disamping satya.

"kamu suka burung?"

"enggak, aku cuma punya sepasang."

sepasang merpati putih didalam kandang. satya mengisi kembali wadah pakan yang sudah kosong tak berisi. "merpati putih itu katanya lambang cinta,"

azka mengalihkan pandang dari dua sejoli merpati ke si pemilik yang masih mengisi pakan burung. "setia. kalau yang satu pergi, yang satu akan menunggu yang lainnya kembali." lanjut satya, tatapannya beralih pada pemuda manis bersurai cokelat gelap yang menaruh atensi padanya.

"nggak tertarik sama merpati yang lain?"

satya menggeleng. "satu sampai mati."

azka tak bergeming. entah mengapa yang dikatakan satya itu maksudnya lain. filosofi merpati putih cuma perantara, pengandaian. mata bulatnya berkedip cepat dua kali.

"a-aku nggak bakal macem-macem, kok. janji."

satya terkekeh pelan. mengusap surai lembut yang terbawa anila malam itu perlahan. azka tersentak sejenak.

"cuma ngomongin soal merpati putih, bukan hubungan kita kedepannya. tapi, ya nggak ada salahnya kalau mau seperti merpati putih."

"satu sampai mati." lanjut satya.

azka mengangguk kecil. "satya sampai mati."

gumaman kecil azka membuat satya tergelak. tertawa kecil sembari menjawil hidung bangir milik sang tunangan. "azka sampai mati."

fin.




notes.
ini lucu banget gak sih? menurut ku ini manis banget wkwk. aku sampe meleleh sendiri bacanya.
udah aku post di au twt sih, tapi nggak papa baca aja lagi yg belum wkwk.

bagai melukis angkasa ; enhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang