{9} Realize

185 46 15
                                    


Bianca mengerat jaket rajutnya saat ia mulai berjalan di lorong Dungeon untuk menuju asramanya. Hal ini adalah hal yang paling tidak disukai Bianca saat keluar asrama pada malam hari.

Ia sedikit takut akan kehadiran Bloody Baron. Menurutnya dan Adrian, hantu Slytherin itu adalah hantu paling tidak menyenangkan di Hogwarts. Tentu saja bukan karena kejahilannya seperti Peeves. Tapi Bloody Baron lebih pantas disebut menyeramkan dengan jubahnya yang berlumuran noda darah perak, wajah yang tirus, dan tatapan mata yang kosong.

Gadis itu berusaha membiasakan matanya dengan cahaya yang semakin meremang. Ia menghela napasnya dalam begitu menyadari hal tersebut bukanlah masalah besar untuk dirinya saat ini. Satu-satunya hal yang harus dipermasalahkan adalah kejadian yang barusaja dialaminya dengan Oliver Wood.

Apa yang barusaja terjadi?

Tidak, ini tidak benar. Bianca tidak seharusnya menceritakan hal itu terutama kepada Oliver, yang benar saja.

Tak bisa dipungkiri itu memang terjadi, Bianca benar-benar menceritakannya pada lelaki itu. Bianca tak pernah mengira Oliver akan memberikan reaksi seperti tadi. Pemuda Gryffindor itu memeluk dirinya, menggenggam tangannya dengan erat, dan, mengelus rambutnya dengan lembut. Bianca memejamkan matanya saat mengingat kejadian tersebut.

Ia bisa merasakan darahnya berdesir cepat ketika terbayang cara sepasang mata coklat itu menatapnya dengan penuh perhatian.

Gadis itu memeluk bukunya semakin erat, seakan mendengar kembali ketika Oliver berkata padanya ia tak memiliki alasan untuk membenci Bianca.

Bianca terkesiap, ia mulai menyadari hal tersebut bukanlah hal yang seharusnya dirasakannya kepada kapten quidditch Gryffindor itu. Namun sepertinya ia tak mampu menyembunyikan rasa nyaman yang timbul saat bersama dengan Oliver.

Bianca tidak bisa berbohong pada dirinya.

Tangan Bianca refleks bergerak memukul kepalanya sendiri berulang kali. Tidak, pasti ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kurang tidur ahir-ahir ini dapat membuatnya kelelahan sehingga mudah terbawa perasaan.

Gadis itu mempercepat langkah kakinya ketika iris hijaunya melihat sebuah dinding batu sederhana di ujung lorong. Ya, itu adalah pintu masuk Asrama Slytherin.

"Pure-blood." Ucap Bianca berdiri dengan gelisah.

Bianca agaknya bisa bernapas lega sebab, dinding tersebut langsung bereaksi dengan membentuk sebuah pintu yang mengarah langsung ke dalam common room Slytherin.

Beberapa detik sebelum melangkahkan kaki memasuki ruangan itu, Bianca dibuat terkesiap dengan kehadiran seorang lelaki yang menampilkan ekspresi serupa.

"Adrian, kau mengejutkanku!" Pekik Bianca.

"Aku barusaja ingin pergi mencarimu." Ucap Adrian setengah berbisik.

Bianca mengkerutkan keningnya. "Mencariku?"

Adrian mengangguk, kemudian langsung menggenggam lengan Bianca dan membawanya di salah satu sudut ruangan common room yang bernuansa hijau emerald dan silver itu.

Wajah lelaki itu mengguratkan ekspresi serius membuat Bianca semakin bertanya-tanya.

Baik bianca maupun Adrian, masing-masing mendudukkan dirinya di sebuah sofa hijau di depan jendela besar yang berhadapan langsung dengan dasar Danau Hitam.

"Bisakah kau langsung mengatakannya? Jangan membuatku mati penasaran, Adrian." Desak Bianca tak sabar.

Adrian terlihat menghela napas dalam. Ia mulai membuka suara.

Cold Tears: When The Darkness Separated UsWhere stories live. Discover now