{30} Lost

107 31 7
                                    


✧◝▿◜✧


"Apa kau yakin Oliver sudah tidak ada di Great Hall?" Seorang gadis bertanya membuat Adrian mengangguk.

"Ya, kurasa saat aku ingin keluar tadi, aku melihat Wood dan timnya pergi ke dari Great Hall." Jawab lelaki itu sesekali menengok pada siswa-siswa yang lewat di lorong tersebut.

Bianca menghela napasnya rendah, mencoba untuk tidak tegang. "Baiklah, itu bagus."

Wajah Adrian mengkerut menatap Bianca yang berjalan disampingnya. "Bianca, apakah kau yakin.. kau tahu, dengan semua ini."

Gadis itu mengedikkan bahunya. "Entahlah," jawabnya semakin mengeratkan dua buah buku di pelukannya. "Apa menu makan siang hari ini?"

Adrian mendengus pelan, ia tahu Bianca bertanya hanya untuk mengalihkan perhatiannya saja. "Daging ayam dengan isian tomat mentega. Itu enak sekali."

Bianca berusaha membuat lengkungan senyum kecil di bibirnya. "Cukup bagus, aku tidak sabar. Apakah ada puding rasa baru hari ini? Sepertinya sudah lama sekali aku tidak makan puding."

"Aku lupa memberitahumu bahwa hari selasa kemarin, ada puding kuning dengan banyak sekali madu dan potongan cherry. Bahkan satu suapannya terasa sangat spesial." Ucap Adrian, agak melebih-lebihkan rasa puding yang sebenarnya sangat asam itu.

Bianca mendengus sebal, membuat langkah cepat mendahului Adrian. "Aku akan sangat berterimakasih kepadamu jika hari itu kau membawakan setidaknya satu potong untukku."

Adrian berlari kecil sambil menahan tawanya. "Jangan salahkan aku, kau bilang kau tidak suka manis."

Bianca memutar matanya. "Ya, dan buah cherry adalah pengecualian, kau tahu itu."

"Tenanglah, puding hari ini warnanya bagus, Tapi aku tidak yakin itu enak. Karena Lucian muntah setelah memakannya." Adrian tertawa.

Dahi gadis itu mengkerut. "Apakah ada kandungan lidah buaya atau semacamnya? Aku pernah dengar Lucian sangat alergi dengan benda itu."

Adrian berfikir sesaat. "Sepertinya tidak, warnanya terlihat ungu atau biru tua. Sangat identik dengan anggur bukan?"

"Mungkin blue berry?" Tebak Bianca spontan.

Lelaki tersebut mengangguk. "Apapun itu, kau harus--" Secara tiba-tiba Bianca berhenti berjalan membuat Adrian menabraknya dari belakang, gadis itu langsung memutar tubuhnya dan berniat melangkah pergi namun Adrian dengan cepat menahan lengannya.

"Baiklah Bianca, tidak ada waktu lagi untuk bersembunyi. Jelaskan pada Wood." Ucap Adrian, pandangannya lurus menatap segerombolan tim Quidditch Gryffindor dengan jubah kebanggaan mereka berjalan ke arah keduanya.

"Adrian lepaskan!" Pekik Bianca tertahan.

Cengkraman tangan lelaki itu semakin kuat. "Tidak, kau tidak bisa menghindarinya terus-menerus. Kau harus menjelaskan pada Wood apa yang sebenarnya terjadi."

Bianca menggeleng, menatap Adrian. "Itu tidaklah semudah yang kau bayangkan Adrian-- lepas!"

Adrian tetap pada pendiriannya, ia sama sekali tidak memperdulikan Bianca yang berusaha mati-matian melepaskan cengkraman kerasnya.

Lelaki itu terdiam, berfikir sejenak, apakah keputusannya mempertemukan Bianca dengan Oliver adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Namun sesaat kemudian, ia melihat dengan jelas kesungguhan raut wajah Oliver yang tinggal beberapa langkah berada di depan mereka, Adrian lantas yakin itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya.

Cold Tears: When The Darkness Separated UsWhere stories live. Discover now