{31} Storm

107 33 8
                                    


✧◝▿◜✧

Bianca melempar kasar buku-buku yang semula berada di dekapannya. Tubuh gemetar gadis itu merosot pada sebuah dinding batu besar dimana tak ada satu lukisan pun yang ditempelkan disana.

Kepalanya tertunduk dalam, menyesali semua kata-kata palsu dari mulutnya yang baru saja menghancurkan satu lagi sumber kebahagiaan dalam hidupnya. Ia benar-benar kehilangan Oliver.

Tangan Bianca tidak berhenti bergerak mengusap setiap air mata yang terus mengalir dari matanya. Mata gadis itu mulai terasa perih, dan pernapasannya juga tak kunjung membaik sejak kejadian beberapa saat lalu.

"Aku tidak tahu apa yang kulakukan.." Gadis itu terisak pilu. "Aku minta maaf Oliver.. aku tidak bermaksud melukaimu."

Bianca refleks memukul keras kepalanya ketika suara terakhir Oliver yang ia dengar, kembali terngiang memenuhi telinganya. "Maafkan aku.." Bianca berbisik lemah pada dirinya.

Gadis itu memaksa mengangkat kepalanya, melirik tidak peduli pada lorong kosong dan buku-buku yang berserakan dihadapannya. Dengan sekuat tenaga, gadis itu menahan suara tangisnya yang menyebabkan tubuhnya semakin gemetar hebat.

"Oliver kau.. kau adalah kelemahanku. Aku tidak mau Corban sialan itu menggunakan dirimu yang tidak ada kaitannya, sebagai ancaman bagiku. Aku takut.. aku takut dia akan melukai mu jika suatu hari aku membuat kesalahan."

Bianca kembali terjatuh ke dalam titik ini. Titik yang paling dibenci oleh dirinya sendiri. Titik dimana ia merasa sangat lemah bahkan hanya untuk menopang tubuhnya dan berjalan kembali ke asramanya.

Gadis itu memejamkan matanya erat, menarik napas dalam dan perlahan-lahan menghembuskannya, berharap dapat sedikit meredakan rasa nyeri di dadanya.

Tubuh Bianca tertunduk semakin dalam, membuat helaian rambut pirangnya terjuntai bebas menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.

Bianca membuka mulutnya perlahan, mencoba mengatakan sesuatu yang terus mengganggunya bahkan semenjak ia belum mengatakan kepada Oliver untuk mengakhiri hubungan mereka. 

"Aku yakin.. Katie akan menjagamu dengan baik." Gadis itu berucap sangat lirih.

Bianca masih bisa mendengar isakan pelan tangisnya ketika suara langkah kaki seseorang memasuki indra pendengarannya. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa Bianca berharap orang yang menghampirinya itu adalah Oliver.

Adrian menghentikan langkahnya yang tergesa. Matanya langsung terpaku pada sosok gadis yang meringkuk di ujung lorong. Lelaki itu menarik napasnya dalam sebelum kembali membuat langkah mendekat.

Pemuda itu membuat posisi berjongkok dihadapan Bianca, namun pandangannya justru teralih kepada buku-buku yang berserakan dilantai. Lelaki itu lantas memunguti benda tersebut satu persatu tanpa menimbulkan suara.

"Bianca.." Bisik Adrian, kemudian mendudukkan dirinya. 

Tidak ada respon apapun dari Bianca, gadis itu masih senantiasa pada posisi awalnya tanpa memperdulikan kehadiran Adrian.

Lelaki itu kembali bersuara. "Membohongi diri sendiri adalah hal paling naif yang ku ketahui."

Perlahan wajah Bianca terangkat tanpa mengalihkan matanya dari lantai. "Dan menempatkan seseorang dalam bahaya hanya karena kau mencintainya, adalah hal paling egois yang pernah ada."

Adrian tak bergeming, sesaat kemudian ia baru mengubah posisinya menjadi duduk disamping sahabatnya. Pemuda itu melirik Bianca, tatapan penuh simpati terpancar jelas dari kedua netra hitamnya.

Cold Tears: When The Darkness Separated UsWhere stories live. Discover now