Langkah kaki membawanya memasuki gedung sekolah bertingkat. Sepi, tidak ada seorangpun yang menyambut kedatangannya. Namun, dengan santai ia tetap melangkah. Melewati koridor yang sama senyapnya. Telinganya sayup-sayup menangkap suara guru yang meneriaki nama muridnya dikelas.
Aurora menampilkan wajah datarnya, matanya menyorot dingin. Dia tidak membawa tas, hanya bermodal seragam putih abu yang ia keluarkan dari rok. Terlihat lecek, tidak disetrika. Sepatu berwarna putih— yang sebenarnya tidak boleh dikenakan membungkus telapak kakinya.
"Jam berapa ini?! Kenapa baru berangkat!? Kamu kira ini mall?! Jam sepuluh baru datang!"
Ruang bibingan konseling menjadi ruangan pertama yang memanggil Aurora.
"Biasa aja sih, Bu," jawab Aurora santai.
Guru dengan rambut ikalnya menatap Aurora geram.
"Aurora, jika sikap kamu seperti ini terus kamu bisa di drop out dari sekolah. Poin kamu sudah 85 disini!"
Aurora tetap bersikap santai, mengambil satu permen karet dari saku bajunya. Membuka bungkusnya didepan guru itu. Tanpa dosa memakannya dengan gerakan slow motion.
Tangan gurunya sudah terkepal kuat menahan amarah. Aurora selalu bisa menyulut emosi siapa saja. Sikapnya yang pongah dan keras kepala menjadi hal yang paling dibenci guru-guru. Hukuman saja tidak cukup membuat Aurora jera. Jika memberi skos sama saja memberi Aurora kebebasan.
"Sebagai hukuman bersihkan toilet perempuan dilantai 1 dan 2!" putusnya tegas.
"Saya bukan cleaning service, Bu. Ngapain nyuruh saya bersihin? Gak dibayar juga kan," ujar Aurora tersenyum miring.
Guru tadi menghembuskan nafas kesal, memijat panggal hidungnya seperti orang yang memiliki beban berat.
"Sudahlah, pusing saya ngurusin kamu! Selama saya berkerja disini baru kali ini saya bertemu murid modelan kamu."
Aurora tersenyum bangga. "Jelas, saya itu limit edition."
"Aurora, keluar dari ruangan saya sekarang!" Guru itu menunjuk pintu keluar.
"Dengan senang hati Ibu Dwi Handayani yang terhormat. Terimakasih atas bimbingannya yang tidak berguna." Aurora tertawa renyah, beranjak dari duduknya.
Tapi ucapan Bu Dwi selanjutnya sanggup membawa langkah Aurora tertahan.
"Jika hari ini kamu buat masalah. Jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki disekolah ini lagi!" tegasnya penuh penekanan.
Tatapannya serius, tidak ada ekspresi yang terkesan hanya sebuah ancaman.
Aurora menatap guru itu sejenak lalu mengangguk.
"Baik."
Aurora keluar dari ruangan bimbingan konseling. Menuju perpusatakaan untuk menyejukkan pikirannya walau sesaat.
Saat jam pelajaran, perpusatakaan selalu sepi. Memberi ruang kebebasan bagi Aurora yang suka menyendiri. Dia memilih duduk di kursi paling pojok. Mengambil buku secara acak. Membuka bagian tengah, membuatnya berdiri tegak menutupi wajahnya.
Aurora tinggal meletakkan kepalanya diatas meja. Memejamkan matanya dengan cepat. Nafasnya berubah teratur seiring dengkuran halus yang terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Aurora jatuh terlelap tidur.
***
Seorang siswi berpakaian ketat dengan bibir merah merona melangkah angkuh memasuki perpusatakaan. Sorot matanya menatap geram ke arah seorang gadis yang terlelap tidur. Tangannya mengepal menandakan amarah yang meluap-luap. Jika ini film animasi pasti kepalanya sudah muncul dua sungut dengan asap yang menggebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Liliy Of The Valley
Teen FictionAurora Belliana Amoel, gadis yang terlahir sebagai kutukan. Darahnya yang bisa mematikan membuat hidupnya berubah berantakan. Siapa yang menyentuh setetes saja darahnya bisa terluka secara permanen. Dia memilih hidup sendiri. Mencari sepeser uang d...