7| Rahasia Aurora

43 15 0
                                    

Hembusan nafas cemas memenuhi atmosfer ruangan yang terasa senyap. Suara detik jarum jam terdengar diantara helaian nafas, juga suara lirih seseorang yang sedari tadi menunggu tak sabar.

"Ra, kapan lo bangun?"

Jari telunjuknya menekan pipi gadis yang masih tak sadarkan diri. Dengan tangan kanan menggenggam tangan lain yang terasa dingin. Sesekali meniupnya, menghadirkan udara hangat.

"Nghh ...."

Erangan keluar dari bibir pucatnya. Matanya masih terpejam, berusaha membukanya walau terasa berat. Saat cahaya pertama menembus lensa matanya ia kembali mengernyit, rasa pusing menghantam kepalanya. Sekali lagi ia mencoba membuka mata.

"Aurora ...." Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang memanggil namanya.

"Ra ...." Kali ini terdengar jelas. Buram yang tadi sempat mendera, perlahan berubah jelas. Penampakan pertama yang ia lihat adalah seorang laki-laki menatapnya cemas.

"Altaf?" Bibir itu berucap pelan, sanggup membuat laki-laki itu tersenyum lega.

"Untung lo bangun, gue kira lo mati beneran."

Aurora mencoba bangkit dari tidurnya, dibantu dengan Altaf yang menyangga badan Aurora dari belakang.

"Sstt ...." Ringis Aurora menyentuh lengannya.

Saat sadar Aurora terluka, Altaf buru-buru bangkit "Bentar gue ambilin obat." Melangkah pergi mengambil kotak p3k.

Aurora hanya terdiam, masih mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Kemudian, ia mengumpat kesal ketika ingat dia kalah balap dengan Dara. Harga dirinya jatuh, Dara menang kali ini.

Altaf kembali dengan kotak putih dan segelas air putih hangat. Aurora menjadi salah fokus dengan perban ditangan Altaf. Ini sungguh suatu kebetulan. Mereka sama-sama jatuh dari motor hari ini dan ... saling mengobati.

"Minum." Aurora menerima segelas air putih, meminumnya hingga setengah tandas.

Lantas kembali memperhatikan Altaf yang sibuk membuka kotak p3k. Mengeluarkan kapas memberinya beberapa tetes refanol.

"Buka jaket lo," perintah Altaf, melihat lengan Aurora yang terluka masih terbungkus jaket.

Aurora menggeleng menolak. "Gue bisa sendiri." Tangannya bergerak merebut kapas, tapi lebih dulu Altaf menjauhkan tangannya.

Menggeleng tegas. "Nurut bisa? Lo lagi sakit gini masih aja sok bisa sendiri."

Aurora menggeleng, "Gue bisa sendiri! Mana kapasnya?!"

"Engga, biar gue bantu obatin!"

"Altaf, please!" Aurora mulai lelah.

Altaf tetap menggeleng, memaksa ingin mengobati. "Lo tinggal buka jeket lo, diem gue obatin- selesai. Apa susahnya sih?"

Apa susahnya? Ah, rasanya Aurora ingin berteriak keras didepan wajahnya jika darahnya bisa saja membuat Altaf mati, tapi rasanya tidak mungkin.

Aurora menatap Altaf tegas. "Gue obatin luka gue sendiri atau gak bakal gue obatin sama sekali!" tekannya tak main-main.

"Lo jangan bandel bisa gak?! Udah gue bilang biar gue aja!" jawab Altaf tak kalah tegas.

Aurora tersenyum sinis, dia bangkit dari duduknya. Bermaksud langsung masuk kamar tanpa mengobati lukanya. Tapi, ucapan Altaf lebih dulu menghentikan langkah Aurora.

"Oke! Lo obatin luka lo sendiri! Tapi, tetap duduk disini," pinta Altaf menyerah.

Aurora tersenyum penuh kemenangan kembali duduk diatas sofa, melepas jaketnya. Untung saja lukanya tidak begitu parah karena terlindung jaketnya yang tebal. Namun, darah masih keluar dari sana.

Liliy Of The ValleyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang