Hembusan nafas lemah terdengar lembut. Kelopak matanya masih saja menutup sejak 10 menit yang lalu. Seolah betah berlama-lama dalam mimpinya. Mengabaikan seorang pemuda yang sedari tadi menunggu dengan cemas.
"Ra, bangun!" Dengan suara pelan, tapi jelas Altaf menepuk pipi dingin Aurora beberapa kali.
Namun, Aurora tak bergeming dia masih tak sadarkan diri.
Tidak menyerah, Altaf mengambil botol air putih. Menuangkan sedikit ke tangannya, lalu ia cipratan ke wajah Aurora.
Berhasil! Altaf tersenyum lega. Kelopak mata Aurora terlihat berkedut-kedut. Tangannya bergerak menyentuh dadanya. Ringisan pelan terdengar.
"Sstt... d-dingin," lirih Aurora pelan, dia masih memejamkan matanya.
"Lo gapapa Ra? Buka mata lo," pintah Altaf menyentuh pipi Aurora.
Aurora membuka matanya perlahan, lensa hitam itu terlihat sayu.
"Al-altaf dingin...."
"Dimana? Dimana yang dingin Ra? Tangan lo dingin?" Altaf cemas, dia membawa tangan Aurora kedalam kedua genggaman tangannya, menggosoknya untuk menghadirkan rasa hangat.
Aurora menggeleng pelan, entah sadar atau tidak tapi Aurora menuntun tangan Altaf untuk ia letakan di atas dadanya.
Altaf terkejut, dia hampir menarik tangannya. Tapi, urung saat Aurora kembali berkata.
"Dada gue yang dingin."
Altaf bingung, dia tidak sanggup hanya sekedar menggerakkan tangannya. Dia benar-benar terpaku, menjawab Aurora saja bibirnya kelu.
Senyum sinis Aurora terukir kecil, mengetahui apa yang Altaf pikirkan. "Hentikan pikiran kotor lo, bodoh."
"Eh?" Altaf menoleh tak paham.
Aurora perlahan mulai sadar sepenuhnya, dia menegakkan tubuhnya yang semula hanya bersandar pada kursi.
"Gue dimana?" tanya Aurora menoleh ke arah Altaf yang masih terdiam.
"Lo ada dimobil gue," jawab cepat Altaf, dia merasa gugup. Jantungnya bertalu dengan cepat.
Aurora mengangguk pelan, dia kembali menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah. Namun, ketika menyadari ada yang masih menempel di dadanya dia menunduk. Tangan Altaf masih ada disana.
Altaf yang menyadari tatapan Aurora membulatkan matanya kaget. Dia buru-buru menarik tangannya cepat. Menggaruk kepalanya seperti orang linglung, Altaf malu.
"So-sorry, tadi lo ya-yang—"
"Gapapa, bahkan lo bisa sentuh dada gue lagi." Aurora tersenyum kecil, lucu melihat pipi Altaf memerah.
"Ha?" cengoh Altaf benar-benar seperti orang bodoh.
"Tangan lo buat dada gue hangat Taf," jelas Aurora mengapa dia mengizinkan Altaf menyentuhnya.
Altaf menatap tak mengerti, meminta penjelasan lebih.
"Gue juga gak ngerti, gue juga bingung. Sejak kali pertama gue ketemu lo dada gue terasa dingin membeku. Dan itu yang gue rasain tadi."
"Karena gue?" tunjuk Altaf pada dirinya sendiri.
Aurora mengangguk, "Iya."
"Tapi gimana bisa?"
"Gue juga gak tau Taf. Lo satu-satunya orang yang tau rahasia gue." Aurora menjawab dengan gelengan kecil.
Altaf terdiam, matanya menyelami lebih dalam bola mata Auora. Namun, beberapa detik setelah itu bersamaan keduanya berpaling. Seperti ada energi tak kasat mata yang menampar tatapan mereka. Altaf mengeryit bingung, begitu juga Aurora yang semakin tak mengerti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Liliy Of The Valley
Teen FictionAurora Belliana Amoel, gadis yang terlahir sebagai kutukan. Darahnya yang bisa mematikan membuat hidupnya berubah berantakan. Siapa yang menyentuh setetes saja darahnya bisa terluka secara permanen. Dia memilih hidup sendiri. Mencari sepeser uang d...