Aurora menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lensanya menyorot tajam, tidak ada senyuman sama sekali. Kabut dingin seolah melingkupi, mengurung jiwa yang dulu begitu periang.
Layar ponsel Aurora menyala, tatapannya teralihkan. Sebuah notifikasi tertera dilayar kunci.
From: Dara
Balap malam ini?Aurora terdiam sejenak, luka pada lengannya semalam memang belum sepenuhnya kering, tapi itu tidak menjadi masalah besar, dia masih bisa balapan. Melainkan, janji dengan Cakra malam ini yang jadi masalah. Dia tidak bisa menerima tantangan Dara.
To: Dara
Gue ga bisa.From: Dara
Kenapa? Lo takut kalah lagi sama gue?😏Aurora membuang nafas kasar. Sudah menduga jawaban Dara. Memilih mengabaikan, Aurora mematikan ponsel.
Mendengar suara motor dari luar dia bergegas keluar rumah. Melihat Cakra menyisir rambutnya di spion motor. Tersenyum melihat dirinya sendiri— belum menyadari kehadiran Aurora.
"Cakep juga gue. Pasti Rora klepek-klepek lihat karisma gue," percaya diri Cakra menyisir rambutnya kesamping.
Khem.
Suara dehaman membuat Cakra terkejut. Langsung menunjukan cengiran lebar ketika melihat Aurora didepan pintu.
"Eh, Rora sejak kapan lo di situ?"
Aurora hanya menunjukan senyum sinisnya. Berjalan menghampiri Cakra.
"1 menit 5 detik lalu," jawab Aurora mengarang.
Namun, hal itu sukses membuat Cakra cengoh. Melirik jam di pergelangan tangannya, menghitung menit ke berapa dia sampai tadi.
Aurora membuat bola matanya malas.
"Bodoh."
"Ha?" Cakra ber'ha' tak paham. Apa Aurora baru saja menghina bodoh dirinya? Tidak bisa dipercaya.
"Ck, buruan."
"Iya, Ra iya sabar. Ini lo pake helm." Cakra menyerahkan helm.
Tanpa membantah Aurora menerimanya, segera mengenakan tanpa drama orang kencan kebanyakan— si cewek berpura-pura hilang ingatan bagaimana cara mengenakan helm, lalu si cowok dengan baik hati membantu mengenakannya. Percayalah Aurora benci hal semacam itu, lagipula dia dan Cakra bukan kencan. Aurora tegaskan sekali lagi mereka bukan kencan.
"Ra, lo kenapa mau gue ajak jalan?" Cakra membuka topik saat lampu merah menghadang mereka.
"Gak tau," jawab jujur Aurora.
Cakra hanya tersenyum tipis, mengangguk. Memikirkan kembali topik dalam kepalanya.
"Ra lo tau gak apa yang lebih berat dari 12 gajah?" Cakra sembarangan mencomot topik.
"Gak." Aurora dibelakang menggeleng tak peduli.
"13 gajah." Cakra lalu tertawa sendiri dengan leluconnya. "Lagi-lagi," sambungnya.
"Lagu apa yang menceritakan tentang pembunuhan sadis?"
"Apa?" Kalo ini Aurora merespon singkat.
"Potong bebek angsa." Setelah itu Cakra kembali tertawa keras.
Aurora hanya bisa menggeleng heran, selera humor Cakra terlalu rendah.
"Yah, kok lo gak ketawa sih," keluh Cakra.
"Lo gak lucu," jujur Aurora.
"Coba lo ngaca. Pasti lo ketawa, soalnya lo yang lucu—hahahaha." Cakra kembali tertawa sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Liliy Of The Valley
Teen FictionAurora Belliana Amoel, gadis yang terlahir sebagai kutukan. Darahnya yang bisa mematikan membuat hidupnya berubah berantakan. Siapa yang menyentuh setetes saja darahnya bisa terluka secara permanen. Dia memilih hidup sendiri. Mencari sepeser uang d...