**
Hyunjin menatap Jinyoung yang terbaring dengan alat-alat penunjang hidup yang terlibat menakutkan itu. Hening, hanya terdengar suara menitor yang menunjukan detak jantung. Serta suara tangisnya yang tidak berhenti. Ia mencium pipi Jinyoung yang separuhnya tertutup masker oksigen.
"Adek bangun! Kak Hyunjin mohon! Katanya Adek mau main sepeda. Ayo! Nanti kamu kakak bonceng, kita balapan sama Renjun sama Felix sama kak Lucas. Adek cepet bangun ya, sepertinya om Minhyun sama Tante Sejeong balikan deh." Hyunjin menggenggam tangan Jinyoung yang terbebas infus. Ia kembali terisak.
"Ayo Adek! Hiks... Jangan pergi, Adek harus sembuh. Kakak rindu makan es krim sama kamu diem-diem. Kakak rindu bawelnya kamu, polosnya kamu. Jangan tidur terus ya! Besok kakak kesini lagi, kamu harus sudah bangun. Kakak pergi dulu, Renjun udah nungguin. Nanti kalau kakak lama-lama si Renjun ngambek." Kemudian ia beranjak. Bergantian dengan Renjun yang tengah mengantre untuk menemui Jinyoung.
Renjun yang sudah menangis sedari tadi,pun melihat Jinyoung secara langsung semakin membuat tangisannya pecah. Untuk beberapa saat ia menunduk. Berusaha merendam tangisnya dan setelahnya ia mendekat.
Renjun mengusap dahi Jinyoung dengan sayang. Melihat tubuh Jinyoung yang tertempel beberapa kabel medis membuatnya miris. Untuk hidup saja, adiknya harus menggunakan alat-alat yang menyakitkan ini.
"Kak Renjun yakin kamu bakal bangun. Kamu tidak akan meninggalkan kita begitu saja,kan? Karena kamu kuat, kamu bisa bertahan hingga sejauh ini. Maka, bangunlah, jangan menyia-nyiakan perjuangan kamu selama ini Jinyoungie. Banyak orang yang menanti kamu bangun, kamu sembuh." Renjun menggenggam tangan kecil itu. Tangan Jinyoung tampak lebih kecil dari tangannya. Padahal mereka seumuran.
Renjun mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Jinyoung.
"Oke, kamu sudah berjanji. Lelaki sejati pantang untuk mengingkari janjinya. Maka, tepatilah janjimu untuk bangun dan sembuh." Setelah beberapa saat menatap wajah damai Jinyoung, Renjun pamit. Sekarang giliran Lucas yang ingin menemui Jinyoung.Berbeda dengan kedua adiknya yang menangis. Lucas datang dengan tenang. Lucas menatap lekat, wajah tampan Jinyoung. Ia menghela nafas pelan.
"Jinyoung-ah, kakak tidak bisa melakukannya. Robot Jinyoung? Itu semua konyol. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu dengan robot sekalipun."
Jinyoung memang punya suatu permintaan dengannya. Saat itu, seusai kambuh yang parah, Lucas menemani Jinyoung untuk tidur.
Jinyoung memintanya untuk menggarap proyek robot Jinyoung yang hampir jadi. Robot itu memang di rancang mirip sekali dengan Jinyoung. Dari mulai bentuk tubuh, hingga wajahnya. Jinyoung yang cerdas memang merancangnya dengan sedemikian rupa. Robot itu memang masih berada di Australia. Jinyoung memintanya untuk melanjutkan proyek itu untuk menggantikan Jinyoung saat ia tak bisa lagi bertahan.
Lucas tak menyanggupinya. Ia bahkan meninta Jinyoung untuk menghancurkan robot itu."Jika kakak menyanggupi untuk melanjutkan proyek itu, kamu juga harus bangun untuk membantu kakak. Hey, sayang, kakak tidak secerdas kamu. Kakak tidak sejenius kamu. Jinyoungie.."
Tit..tit...
Elektrokardiografi menunjukkan garis lurus. Tubuh Jinyoung mengejang. Lucas panik, ia berteriak memanggil papa dan dokter."PAPA JINYOUNGIE PA, DOKTER.. TOLONG ADIK SAYA."
Beberapa tim medis datang dengan tergesa dan menyuruhnya untuk keluar. Lucas menangis sembari memeluk papa. Ia tak sanggup menahan tangisnya lagi. Ia melihat sendiri bagaimana tubuh itu kesakitan di saat sang pemilik masih tidur dengan tenang. Ia takut, takut adiknya semakin jauh dan tidak bisa ia gapai.