24. Ibaratkan Kaca

35 11 0
                                    

✨🎀✨
Jejak-jejak kental merah pekat yang berserak dilantai berubah putih. Tidak sepadan dengan sungai merah pekat yang tak berwujud didalam hati.
~Claudia
✨🎀✨

Dani. Gadis itu mengurung diri dikamar sejak kemarin sore. Kamar bernuansa maron dan biru tua itu, sudah berantakan entah bagaimana bentuknya. Yang jelas, itu bukanlah kamarnya.

Pecahan kaca ataupun guci juga berserakan dilantai. Jejak-jejak merah pekat di lantai tampak sudah kering. Luka menganga di telapak kakinya tak dipedulikan, sebab rasa sakitnya tak sesakit dan seperih luka di hatinya.

Matanya sembab, hidung yang memerah, rambut acak-acakan, dan wajah pucat dengan sorot mata kosong. Raut wajah yang selalu ceria dan polos berubah dalam sekejap, menjadi suram dan hampa. Tiada pertanyaan dan kelakuan polos, tak ada tingkah menggemaskan, tak ada raut bingung ketika tidak memahami sesuatu. Semua sirna, seperti matahari yang tersingkir oleh sinar bulan yang bersinar dimalam hari tanpa sang bintang.

'Semua, seakan terjadi didalam mimpi. Dimana aku, yang selalu tertawa bahagia mendadak berubah menjadi sebongkah patung hidup yang tak bergerak. Keluarga yang ku anggap harmonis, ternyata aslinya begitu miris. Ibu, yang ku anggap wanita yang berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan ku, ternyata adalah wanita yang merusak kebahagian Papi dan Mama dimasa lalu. Lalu, kenapa aku tak menyadari hal itu? Disaat Papi memilih membawa bekal saat bekerja, pulang-pergi, Jakarta-Kalimantan dalam sebulan, hingga kurangnya komunikasi dari mereka yang tak pernah sekalipun kulihat. Sebenarnya, aku ini siapa dan apa bagi mereka?' batin gadis itu menjerit sekuat mungkin. Luka yang ia dapat entah bagaimana bentuknya. Hati yang selalu kuat dan kokoh, langsung hancur berkeping-keping.

Tok! tok! tok!

"Audi, Bunda masuk, ya?" sebuah suara yang diikuti ketukan pintu.

"Ma-masuk aja Bun, gak dikun-kunci, kok!" suaranya serak dan bergetar akibat terlalu lama menangis dan berteriak.

Ceklek!

Pintu terbuka. Menampakkan wanita paruh baya yang membawa nampan berisi sepiring makanan, segelas air putih, dan sebotol vitamin diatasnya. Wanita itu membelalak kaget, melihat isi kamar yang berantakan. Hatinya juga ikut teriris melihat seorang gadis belia dengan kondisi buruk terduduk lesu di atas ranjang yang juga sama berantakannya.

"Audi," lirih wanita itu.

Bunda ... wanita bernama Amanda, yang berstatus ibu dari sahabat kecilnya, Arka. Wanita yang di panggil Bunda oleh gadis bermarga Hermanta. Amanda sudah menganggap bahwa Dani atau Audi adalah putrinya. Karena, ia juga turut merawat gadis itu saat kecil.

Amanda berjalan masuk. Kakinya menghindari sembarang jenis pecahan kaca dan guci. Matanya memanas, melihat betapa kacau gadis belia itu. Meletakkan nampan yang ia bawa di atas nakas, tubuhnya bergerak duduk dihadapan Dani.

Menarik tubuh mungil yang begitu rapuh kedalam pelukannya. Tak lama, suara tangis kembali terdengar, Dani menangis hebat. Mencengkram kuat baju yang digunakan oleh Amanda. Air matanya tumpah ruah, bak sungai yang sedang mengamuk.

"Kenapa? Kenapa Audi yang harus ngalamin ini Bun? Ke-kenapa, Tuhan gak adil sama hidup Audi? Bahagianya Audi kenapa harus hancur, Bun? Salah apa Audi sama Tuhan! Hiks ... Audi nyoba buat gak percaya, Audi selalu bilang ini mimpi, tapi kenapa harus senyata ini Bunda?" Suara tangis gadis itu teredam didalam pelukan erat Amanda. Wanita empat anak itu juga turut menitikkan air mata. Hatinya pun sama merasakan betapa sakit gadis ini.

"Audi, gak boleh kaya gitu. Tuhan itu adil. Kalau hari kemarin kamu terluka, mungkin hari ini atau esok ada bahagia yang lagi nunggu Audi. Audi gak boleh marah sama Tuhan, gak baik." Amanda mengusap lembut rambut sebahu milik Dani. Jujur, ia juga ingin menangis, tapi gadis dipelukannya ini lebih butuh semangat dari pada tangisannya.

"Hiks, A-audi harus gimana? Audi pengen kaya dulu lagi, disaat Papi gendong Audi setiap nunggu Papi pulang, disaat Mami marahin Audi karna pulang telat, disaat Kak Sea nurutin kemauan Audi. Tapi sekarang ... hiks, Audi kehilangan semuanya! Audi kehilangan Papi sama Mami! Bunda, Audi gak tahan lagi, Audi mau nyerah sama dunia. Audi gak sekuat itu Bun buat nahan semua sendiri!"

Amanda menggeleng, tidak membenarkan ucapan gadis itu. "Kamu gak sendiri sayang. Ada Bang Arya, yang bakal nurutin maunya Audi, ada Kak Anya yang bakal ngajak Audi main, ada Arda sama Arka yang selalu di samping Audi. Audi gak sendiri, masih ada temen-temen Audi yang bakal arahin Audi, kalau salah jalan."

Dani hanya diam. Ucapan Amanda hanya disahuti isak tangis yang kian mereda. Sekarang, ia mulai memungut kepingan hatinya yang berserakan. Mencoba menyatukan semuanya menjadi satu walau itu mungkin akan mustahil.

"Sekarang kamu makan dulu, minum vitamin baru tidur ya. Bentar lagi Arda sama Arka bakal pulang." Dani mengangguk.

Ia menerima suapan demi suapan dari Amanda, walau makanan tersebut terasa hambar dilidahnya. Setelah sekian banyak suapan yang masuk kedalam mulutnya, Amanda memberikan segelas air minum, lalu dua butir vitamin pada Dani.

"Sekarang kamu tidur, Bunda mau kebawah nyimpen piring kotor dulu." Dani mengangguk, Amanda beranjak dari tempatnya. Membawa nampan kosong ditangannya, sebelum ia keluar dari kamar, matanya menatap Dan sekilas yang sudah berbaring membelakanginya.

Tapi, Amanda tak secepat itu pergi. Ia memanggil dua maid dirumahnya untuk membersihkan kamar yang ditempati Dani, dan memanggil dokter untuk mengobati kaki Dani. Luka yang cukup lebar, sebab luka itu bukan terkena pecahan kaca melainkan pecahan guci yang cukup tebal.

***

Tiga gadis yang terkenal karena ketidak akuran nya itu, tengah diliputi rasa bingung. Tak terkecuali Elmor. Semenjak kemarin setelah pulang dari belajar bersama, salah satu dari mereka mendadak menghilang bak tertelan bumi. Tiada kabar yang mereka ketahui.

"Anak sultan mana nih? Katanya ketemu lagi di sekolah, sampe istirahat kedua gak keliatan sama sekali batang idungnya," ini adalah gerutuan yang kesekian kali dari gadis bermarga Wijaya. Matanya bergerak liar menatap seisi kantin yang ramai, mencari gadis boncel polos yang selalu meramaikan suasana.

"Iya juga ya, ingkar janji itu anak." kali ini Avra juga turut kepo, kemana anak sultan itu pergi.

Elmor hanya diam, tapi diam-diam ia juga penasaran kemana Dani pergi. Bukankah hadis itu yang mengajak bertemu di sekolah hari ini?

"Avra!" Panggilan itu membuat sang empunya nama menoleh. Dari arah belakang seorang pemuda tampan mendatanginya dengan kertas putih ditangan kanan. Dia Arka. Teman duetnya saat konser lokal. Konser dalam kelas kalo kagak tau lo pada.

"Kenapa, Ka?" tanya Avra bingung.

"Ini, gue mau tanya, temen sekelas Dya ada yang lo kenal?" tanya Arka, to the point.

"Dya?" Beo Lian dan Avra. Elmor mengerutkan keningnya, mengingat apakah di sekolah ini ada gadis bernama Dya yang kenal dengan Arka? Seingatnya hanya ada satu gadis bernama Dya, Handya anak kelas 11 ketua Cheers.

"Eh, maksudnya Dani. Lo, ada yang kenal temen Dani selain kembar S?"

"Oh Dani. Ada sih anak kembar juga, Lena sama Leni. Kenapa?"

"Gue ada yang mau dititipin ke wali kelasnya. Anaknya, yang mana?" tanya Arka lagi.

"Yang ... nah itu yang pake bandana biru sama cokelat deket stand-nya Buk Rasmi, keliatan gak?" tunjuk Avra pada dua gadis yang duduk didekat stand soto.

"Oh yang itu, thanks, ya. Gue pergi dulu," ucap Arka. Tapi, sebelum benar-benar pergi, Lian bertanya pada Arka kemana perginya Dani.

"Sebuah kaca yang indah, akan hancur jika dipukul menggunakan palu."

Hanya itu jawaban dari Arka yang membuat tiga gadis itu bingung akan maksudnya.

To Be Continue

Don't forget, vote and comment...

Fall In Love Of ConcertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang