41. Pertemuan dan Perpisahan

13 3 0
                                    

Pertemuan dan perpisahan adalah dua kejadian yang tidak bisa kita hindari. Sejauh apapun kaki kita melangkah pasti akan ada saatnya kita menjumpai suatu pertemuan dan sedekat apapun jarak yang kita lalui selama ini, akan ada masanya perpisahan menyapa. Kalau Dani sedang menyapa perpisahannya, Lian akan menjumpai sebuah pertemuan keduanya.

Pulang dari pemakaman, Lian melihat seorang lelaki sedang bertekuk lutut didepan Bunda nya, seolah tak punya tenaga untuk melangkah masuk Lian hanya diam melihat adegan tersebut.

Ayah Tama nampak memohon pada sang istri, yang diam tidak menatap padanya. Berbeda dengan Ayah Tama, Bunda Sica berusaha tegar, tidak ingin menangis didepan orang yang menikahinya kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu.

Bunda Sica menatap Lian yang berdiri tak jauh dari mereka berdua saat ini. Feeling seorang ibu kuat, didalam mata indah Lian, ia melihat kalau putri semata wayangnya itu yang selalu ia sebut sebagai Ayah terbaik.

'Lian salah, Ayah juga manusia yang bisa melakukan salah, Ayah juga orang biasa, dia bukan yang terbaik. Lian ... maafin bunda, selalu ngajarin kamu bilang ayah terbaik, nyatanya Ayah tetaplah Ayah,' batin Bunda meringis menahan sesak di dadanya.

"Ayah mohon bunda, balik sama Ayah, ya? Kita perbaiki sama-sama, Ayah sadar, kalau selama ini Ayah cuma ngasih materi bukan cinta ke bunda." Ayah Tama memegang tangan Bunda Sica, diusapnya dengan pelan.

Bunda mengalihkan pandangannya, dari menatap Lian sekarang beralih pada sang suami. "Ayah ngerusak nya sendiri, kenapa harus perbaiki nya sama-sama?" tanya Bunda Sica dengan suara yang bergetar.

Tanpa diketahui keduanya, Lian masuk dan berdiri tepat dibelakang Ayah Tama berucap, "Bunda kalo mau nangis gak pa-pa, jangan ditahan bun. Awan aja bisa nangis, keluarin semuanya bunda, mumpung Ayah lagi ada disini."

Lian menatap Ayah Tama dengan air mata yang sudah deras membanjiri kedua pipinya. Ada sedikit kecewa dari Lian untuk Ayah Tama.

Mendengar ucapan Lian, Bunda Sica langsung menundukkan kepalanya, mengeluarkan semua air mata yang menggenang, melepaskan semua erangan sesak yang ia tahan sejak tadi.

Mendengar erangan bunda yang begitu menyakitkan, Lian duduk di samping bunda merangkul bunda yang sangat ia cintai.

"Ayah tau? Bunda cinta sama ayah. Kenapa ayah jahat? Sekarang gimana? Tante Clara udah meninggal, makanya ayah mau balik sama bunda? Ayah egois. Bener kata orang, seorang ayah adalah cinta pertama putrinya, iya itu bener Yah, buat mereka yang gak diposisi Lian. Tapi bagi Lian, ayah adalah cinta dan luka pertama bagi putrinya. Lian sayang sama ayah, tapi Lian lebih sayang bunda. Ayah gak tau kan, kalo bunda nangis setiap malem karna ulah ayah dibelakang bun—," belum selesai Lian mengeluarkan keluh kesahnya, Bunda Sica sudah memotongnya lebih dulu.

"Lian udah," tutur Bunda dengan lemah disela isakannya. Lian menatap bunda dengan air mata yang sama derasnya, menggelengkan kepalanya seolah menyiratkan,'ini belum selesai bunda.'

Ayah Tama tidak bisa berkata apapun, ia hanya bisa mendengarkan semua yang dilontarkan Lian untuk dirinya. Tama menyadari semuanya, kalau ia benar-benar belum bisa jadi seorang Ayah yang baik bagi putri satu-satunya itu.

"Lian tau semuanya bunda. Semuanya. Ayah sama tante Clara itu, dari Lian SMP kan? Ayah ke Jepang sama tante Clara bukan cuma buat kerja, tapi juga buat liburan. Lian tau Ayahh, Lian tau. Lian tau sebelum Ayah ngejelasin semuanya, Lian tau Ayah gak cinta sama bunda. Tapi bisa gak Yah, kalau Ayah memang gak cinta sama bunda, Ayah bisa jadi suami yang selayaknya suami? Lian memang gak paham masalah rumah tangga yang Ayah sama Bunda laluin, tapi Lian mohon ke Ayah, Ayah bisa jadi suami bagi bunda tanpa ada campur tangan perempuan lain. Ayah sukses jadi Ayah buat Lian, tapi Ayah belum sukses jadi suami buat bunda. Lian ngikutin apa maunya Bunda." Lian mengusap punggung Bunda, dengan sesekali ia menyeka air mata bunda yang sangat deras.

Fall In Love Of ConcertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang