Di bawah pancaran sinar matahari, seorang gadis nampak duduk bersimpuh di samping sebuah makam yang tanahnya masih terasa basah—pertanda bahwa itu merupakan makam baru.
Ia mengukirkan senyuman tipis sembari mengelus pelan batu nisan yang mengukirkan nama sahabatnya, Lian. Dan di detik itu pula, dadanya bagai di tusuk beribu belati yang mengandung racun mematikan.
"Semua udah beda, Li."
"Sekarang, semua udah beda semenjak lo pergi. Gak ada lagi Lian dan Avra yang selalu ribut, gak ada Dani yang selalu kesal karena dijahilin Kakak-Kakaknya, gak ada lagi Elmor yang malu sama tingkah kita bertiga."
"... dan gak ada lagi kehangatan yang gue dapetin dari kalian. Gak ada." Air mata beraroma nestapa seketika tercium kala Avra menangis sesenggukan dengan tangan yang meremat tanah kuburan milik Lian.
Dadanya sesak, seolah dicekat oleh batu berukuran besar. Otaknya memutar kembali kenangan-kenangan manis, pahit, dan asam yang entah sudah berapa lama mereka lalui.
Mengapa ia harus kehilangan salah satu cahaya hidupnya?
"Lo itu mataharinya kita bertiga, Li. Tanpa lo, semua gak bisa bersinar, gak bisa."
"... lo gimana keadaannya? Udah gak perlu pura-pura kuat lagi, 'kan? Gue tau, pasti lo di surga lagi ketawain nasib gue yang makin miris. Hahaha, gue—gue kangen ocehan random lo, Li. Kangen."
Lian, datang bak malaikat yang selalu mengepakkan sayapnya penuh kebahagiaan. Dia ada, ketika semua membutuhkannya. Namun dia pergi dengan kenangannya, ketika semua masih ingin hidup bersamanya.
"Kalau lo masih ada, mungkin lo bakalan sedih liat nasib kita bertiga. Lo tau gak? Gue baru aja putus dari Gerley, Li."
"... gue minta, malam ini dateng ke mimpi gue ya, Li. Sekali aja. Sebelum gue nanti berangkat ke luar kota, dan gak ada kesempatan buat ziarah ke makam lo."
Iya, gadis belia bernama Avra itu memang memutuskan untuk pergi meninggalkan rumahnya sekarang. Ia rencananya akan tinggal di daerah Yogyakarta. Memulai hidup baru di sana, bersama keluarga dari Ibunya. Sekaligus Kakaknya.
Bukannya ia tak sayang pada kenangannya di kota ini, namun Avra ingin hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang selalu membuatnya menangis tanpa henti. Ia lelah, sungguh.
Apalagi, kedua orang tuanya masih sama seperti dulu. Mereka tidak peduli.
Lantas apa yang masih Avra harapkan di kota ini?
"Gue pergi duluan, ya, Li. Mau jenguk Elmor, gue pengen mastiin kalau dia baik-baik aja."
Kemudian, perempuan berambut pirang tersebut pergi meninggalkan makam Lian. Ia menoleh sejenak dan memberikan senyuman terakhirnya. Yang tenang di sana Lian, gue sayang banget sama lo.
"Udah? Abis ini mau langsung ke rumah rehabilitasi atau mampir ke mana dulu?"
Lontaran pertanyaan tadi membuat Avra menegakkan kepalanya. Ia mengusap sisa air matanya sembari menjawab, "Langsung aja, gue tau lo lagi kangen sama Elmor." cetusnya bernada gurauan.
Yang diledek pun hanya menanggapi dengan cengiran. Itu Lio, sepupu Avra. Dia yang memang sukarela menemaninya kemari pasca kejadian putusnya dengan Gerley. "Ya udah ayo cepetan naik. Kayaknya mau turun hujan."
"Iya."
Beberapa detik berikutnya, motor ninja kepunyaan Lio melaju cepat di jalan raya yang lumayan lenggang. Di jok belakang, Avra tampak membiarkan rambutnya berterbangan ditiup angin, sebab helm yang disodorkan sepupunya tak ia gunakan. Lio pun hanya mampu menghela napas. Terserah lo aja deh, Vra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love Of Concert
Fiksi PenggemarEmpat gadis yang berasal dari SMA Sagara ini cukup dikenal di ruang lingkup sekolah, terkenal karena menjadi siswi yang pecicilan, terkenal karena menyukai kpop, terkenal karena menjadi bahan bullyan kakak kelas dan lain sebagainya. Mereka bukanlah...