Apakah hari ini turun hujan? Eh tapi bukannya aku dikamar? Kalau bukan hujan berarti ... BOCOR!
"Ran, Rana! Bangun," ada suara samar-samar kudengar. Mungkin cuma mimpi. "Ranaaa udah siang, jangan sampai dihukum lagi karena telat."
Hah?! Kubuka mataku dengan tergesa. Jam berapa sekarang? Mukaku basah, pasti tadi suara ibu. Aku segera meloncat dan berlari ke kamar mandi. Sial! Sudah pukul 06.30. Dan upacara hari Senin dimulai 15 menit lagi.
Aku berlarian setengah sadar. Mandi super kilat dan nggak ada waktu buat sarapan, karena prioritas sekarang adalah mengejar bis sekolah.
"Ibuk, Rana berangkat dulu ya, sarapan di sekolah aja nanti," pamitku sambil mencium punggung tangan ibuku.
***
Pukul 06.46 bis sekolah baru sampai. Yah sekolah kami memang berbeda di setiap Senin. 15 menit lebih awal gerbang sudah ditutup agar tidak mengganggu jalannya upacara. Aku hampir jadi langganan murid yang dijemur di lapangan sehabis upacara. Entah puluhan kali kena omel Pak Bram. Sesuai namanya, Pak Bram sudah selayaknya ayah kami, tapi kalau sudah ada murid yang tidak tertib beliau lebih galak dari ayah kami sendiri.
Para murid yang terlambat boleh masuk setelah upacara selesai. Kami berjalan beriringan untuk diinterogasi alasan terlambat datang. Sesudahnya kami boleh memilih membersihkan toilet atau berjemur di tengah lapangan sampai jam istirahat tiba. Rata rata mereka memilih membersihkan toilet, mereka pikir bisa kerja bakti agar lebih cepat selesai. Apalagi anak perempuan mana mau berjemur di lapangan, takut gosong. Tapi tidak dengan aku. Lebih takut bau kamar mandi menempel di bajuku daripada kulitku menghitam.
"Rana, Arga Wirawan, hanya kalian yang memilih berjemur di lapangan. Bapak akan awasi dari pos satpam. Ingat, sebelum bel istirahat tidak boleh kembali ke kelas," tutur Pak Bram.
Aku belum pernah mendengar namanya. Dia tinggi sekali, memakai topi sekolah, rapi, sepertinya tidak banyak bicara, bisa bisa aku tertidur sambil berdiri kalau tidak mengobrol.
"Hai, aku Rana. Kamu nggak mau ngobrol gitu? Biar nggak bosen berdiri 2 jam disini," sapaku sok akrab pada laki laki tinggi itu. Namun, dia tetap diam. Aura manusia kulkas mulai tercium. Aku berceloteh panjang lebar dia diam. Tidak ada respon sama sekali. Nggak seru. Kaku banget.
Aku mulai lelah, sekaligus menyerah dengan Arga Wirawan ini. Aku tidak bisa melihat wajahnya, ya karena Pak Bram tidak akan mengampuniku jika memalingkan pandangan sedikit saja dari bendera. Tapi aku seperti pernah mendengar nama itu.
Matahari mulai tinggi. Bayangan mulai menghilang. Keringat sudah tidak bisa menahan diri untuk keluar. Tubuh kecilku sedang menghitung detik detik dehidrasi. Tidak berselang lama langit menjadi redup. Ternyata laki laki disebelahku menggeser badannya yang tinggi hingga menutupi matahari yang ingin membakarku.
"Terimakasih ..." kataku sambil melirik bed kelas yang berwarna merah. "Terima kasih, Kak Arga Wirawan hehe." Yap, dia kakak kelas. Kelas 3 tepatnya.
Teng teng teeeng ...
"Kalian bisa kembali ke kelas. Jangan lupa kasih surat telat ke guru piket ya," Pak Bram menyudahi hukuman kami. Huh lega banget karena kakiku sudah mati rasa, rambutku juga makin lepek.
Aku buru buru melangkahkan kakiku mengarah ke kantin, ingin cepat meminum es jeruk dan baksonya Mbak Sri, namun seseorang menarik tasku.
"Rana," seperti tidak asing dan aku menoleh ke sumber suara. Laki laki di konser waktu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
UJARAN SEMESTA
Short Story"Ketika semesta tak berpihak pada rasa ..." Ini cerita yang sederhana, tapi mungkin akan rumit juga. Eh belum tau deng, masalah hati memang tidak bisa dianggap sepele kan? Rana si cewek biasa biasa saja yang setianya kelewatan. Arga si perhatian da...