12

52 8 0
                                    

Sepanjang hari aku dan Arga bertukar cerita. Betah duduk di teras rumah dan membicarakan apa saja. Itulah yang kami lakukan bahkan di masa depan. Bagi kami tidak harus berkencan ke bioskop atau mall. Menghabiskan waktu berdua akan jadi momen berharga setelah hari itu.

Pukul tujuh malam Arga meminta izin membawaku keluar. Kami berjalan kaki menuju taman di dekat rumahku. Taman yang dipenuhi pohon tabebuya lebat, mirip suasana di perpustakaan kota.

"Kamu nggak bosan seharian bareng aku?" Tanya Arga.

"Nggak, seharian bareng kamu malah rasanya masih kurang."

Arga menggandeng tanganku. Lucu sekali, seperti ayah menggandeng tangan mungil putrinya. Takut hilang.

Kami sampai di taman. Aku sedikit lelah dan merebahkan tubuhku di rerumputan. Rasanya seperti menikmati indahnya bunga sakura di musim semi. Arga pun mengikuti.

"Eh baju kamu nanti kotor!"

"Nggak masalah, Ran. Kotor ya dicuci."

"Aku sampai lupa nanya, kamu hari ini rapi banget. Habis dari mana?"

Arga terlihat menghela nafas berat namun berusaha tidak bersuara. "Habis dari makam papa bareng mama aku. Terus ke rumah kamu," ia memberi jeda sebelum melanjutkan. "Ran, aku mau jujur."

"Tentang?"

"Waktu itu aku pikir kamu sudah nggak ada harapan. Mama nemenin terapi ke Malaysia. Aku putuskan untuk jauh dari Indonesia dan  bakal kuliah di Swiss juga tinggal disana dengan keluarga baruku."

Mendengarnya aku diam. Tapi semakin erat menggenggam tangannya yang besar.

"Tapi aku ingin memastikan masa laluku sudah selesai, sampai aku tahu kamu berhasil hidup sampai sekarang. Aku mencoba membujuk mama agar bisa tinggal di Indonesia, sayangnya beliau mengizinkan setelah aku menyelesaikan studi di Swiss. Apa kamu marah, Ran?"

"Kamu tau kan, bintang nggak muncul saat siang, atau saat mendung. Tapi bukan berarti bintang menghilang."

"Iya, aku tahu. Kenapa?"

"Begitu juga aku. Meski langit kita akan jauh berbeda, waktu tidur kita berbeda, itu bukan masalah besar. Kamu pasti tau, apapun pilihan yang kita buat akan selalu membahagiakan sekaligus mengecewakan. Tergantung bagaimana bijak bersikap."

"Jadi, kamu nggak marah? Aku bingung."

"Nggak, karena aku yakin semesta akan menyatukan rasa yang sama." Karaku lirih, yang sebenarnya mengatur nafas agar air di pelupuk mata tidak jadi keluar.

"Aku janji setiap liburan bakal pulang, aku akan datang di setiap momen baik kamu."

"Jangan berjanji, Arga. Tuhan mengizinkan kita berusaha tapi sebaiknya tidak berencana."

Malam itu aku tegar, meskipun dalam hati ketakutan itu sangat besar.

UJARAN SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang