8

81 8 0
                                    

Detik masih berjalan seperti biasa. Matahari bulan bintang masih datang tanpa diminta. Arga juga masih nggak bisa ditebak pun aku yang masih bodo amat dengan tingkah lakunya.

Seperti ketika kami di kantin. Aku yang tenang makan bakso bareng Alya, tiba tiba dihampiri oleh Arga. Dia duduk meminum es teh yang dibawa.

"Ran, enak ya baksonya?"

"Kalo nggak enak, nggak mungkin habis dong, gimana sih." Judesku kambuh kalo dekat Arga.

"Suka sama bakso?"

"Suka banget, apalagi kalo pedes."

"Kalo sama aku, suka juga?"

Konyol. Alya sampai dibuat mual. Anehnya lagi dia berkata demikian dengan memasang muka datar, sembari menjelaskan.

"Kalo gombal aku cengar-cengir, kalo serius ya mukaku kayak gini bentuknya."

Atau ketika Arga nggak sengaja ketemu aku dan Fero di depan laboratorium kimia. Dengan sigap dia membantu kami menata alat untuk persiapan praktikum.

"Rana, kamu udah belajar apa aja di bumi?" Tanya Arga yang kujawab dengan sebenar benarnya jawaban.

"Banyaklah. Matematika, Fisika, Geografi, Biologi, Kimia, Bahasa Jepang juga lo."

"Gimana kalo belajar ilmu baru? Mau aku ajarin?"

"Hah? Ilmu tentang apa?"

"Belajar nerima aku, belajar cinta sama aku, aku sabar kok ngajarinnya."

Astaga, ya Tuhan. Gila, ngomong begitu pas ada temenku. Memang dia nggak waras. Aku pun langsung pergi bersama Fero karena malas meladeninya.

Tapi suatu hari aku akhirnya mengetahui tulus yang dia bicarakan benar adanya. Bukan rayuan atau tipuan belaka.

Waktu itu sekolah mengadakan perkemahan selama 2 hari. Cuma anak anak cupu dan nggak hobi nongkrong yang mau jadi perwakilan kelas. Aku dan Arga diantaranya. Kami sedang melakukan jelajah alam. Karena aku punya riwayat lemah jantung maka aku berjalan perlahan. Tidak ada seorangpun yang tau tentang kondisiku selain sahabat-sahabatku.

Jelajah dilakukan tengah malam. Kebetulan bumi perkemahan kami dekat dengan kebun teh warga. Kami berjalan bersama kelompok dengan petunjuk sebuah peta. Semakin malam tentunya cuaca semakin membekukan tulang, sampai dadaku mulai sesak. Aku merogoh saku depan tasku, mencari plastik obat yang tidak sengaja terjatuh di tenda.

Aku yang berjalan lambat akhirnya tertinggal. Fero yang menjadi teman satu tim menyadari bahwa aku berhenti jauh di belakang. Ia lari berbalik arah dan meminta teman yang lain meneruskan perjalanan.

"Rana, nggak kuat jalan?"

"Fer, ini nggak sekedar nggak kuat jalan, aku sebenernya punya kelainan jantung dari kecil dan selalu bawa obat. Tapi aku cari di tas nggak ada dan sekarang dadaku mulai sakit."

"Tapi kamu bawa kesini kan? Apa mungkin ketinggalan di tenda? Gini aja kamu tarik nafas dalam dalam dan naik ke punggung aku. Ayok!"

Fero berusaha secepat mungkin kembali ke tenda, namun sayang usahanya terhalang baterai senter yang habis. Kami terjebak di kegelapan menunggu bantuan datang.

***

Di tempat lain, Arga menjadi senior yang berjaga di area tenda. Ia sebenarnya kesini karena mengikuti Rana. Tapi dia harus rela menunggu anak anak menyelesaikan jelajah malam. Dia berjalan tak tentu arah, sampai berhenti karena melihat bungkusan obat yang bertuliskan Rana Zianisa. Obat obatan itu tidak seperti paket obat biasa yang dibawa dalam perjalanan. Lebih terlihat seperti resep obat dari dokter. Arga teringat punya sepupu mahasiswa kedokteran. Ia pun menelpon untuk menanyakannya.

"Bang Fadhil, ini Arga. Eh aku tuh nemuin obat di sekitar tempat aku kemah. Tapi kayaknya bukan obat biasa deh. Bisa tolong di cek nggak obat apaan, takutnya penting."

"Haduh, Ga. Kamu tuh telpon malem malem cuma nanyain obat. Ya udah kirim fotonya."

Singkat cerita, Arga mengetahui jika obat tersebut memang resep dokter. Ia terkejut karena ternyata Rana menyimpan obat untuk pasien gagal jantung. Tanpa berpikir panjang dia pun lari menyusuri jalan untuk mencari Rana.

"Ranaaaa. Kamu dimana?" Arga panik karena dia tau seharusnya Rana tidak ikut dalam kegiatan ini.

"Ranaaa." Panggil Arga tanpa henti, padahal jalur jelajah sebenarnya tidak terlalu jauh.

Ya Tuhan, kenapa harus Rana? Dari sekian juta orang kenapa aku harus bertemu Rana? Apa ini takdirku? Kepala Arga berkecamuk pertanyaan yang tentu tidak bisa ia jawab.

UJARAN SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang